Peradilan Rakyat
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***
Malam-Malam Nina
Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.
Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.
Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.
Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.
Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.
Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.
Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.
Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.
Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.
"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.
Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.
"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.
Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.
Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?
Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?
Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.
Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.
Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.
"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.
"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.
Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.
Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.
Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Nina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.
Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.
"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.
"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.
"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.
Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.
Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.
"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.
Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.
"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."
Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.
Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.
"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.
"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.
"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.
Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.
Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.
"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?
"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.
Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."
"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"
Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.
Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.
"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.
Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.
"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.
Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!
Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.
Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.
Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…
"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.
Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"
"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"
Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?
Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.
Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.
Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu. ***
Jangan Menyebut Dua Frasa Itu
Yang hidup di tepi laut, tak takut menyambut maut.
Tapi ia, juga orang-orang yang tubuhnya telah lama tertanam dan tumbuh-biak-berakar di kampung nelayan ini, adalah sekelompok paranoid, yang menanggung kecemasan pada dua frasa. Dua frasa ini merupa hantu, bergentayangan, menyusup, menyelinap, dan acapkali hadir dalam sengkarut mimpi, mengganggu tidur. Dan saat bayangannya hadir, ia membawa kaleidoskop peristiwa-peristiwa buruk, yang menyerang, datang beruntun. Maka, ketahuilah bahwa dua frasa itu sesungguhnya kini hadir lebih sebagai sebuah energi negatif yang primitif, selain bahwa ia juga sedang menghadirkan dirinya dalam sosoknya yang energik, molek dan penuh kemegahan.
Tapi mampukah ia, si renta yang bermulut tuah, bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya.
"Ingat ya Tuk, Datuk tak boleh menyebut dua frasa itu. Bahaya!" Demikian proteksi dari yang muda, dari cucu-cicitnya. Dan merekalah yang sesungguhnya membuat ia kian merasa cemas. Di usianya yang susut, ia justru merasa kekangan-kekangan datang menelikung. Tak hanya kekangan fisik karena kerentaan yang datang dari kodrat-kefanaan tubuhnya sendiri, tapi juga kekangan-kekangan yang kerap ia terima dari orang-orang di luar tubuhnya. Orang-orang yang sebenarnya sangat belia untuk mengetahui rasa asam-garam, sangat rentan terhadap patahnya pepatah-petitih di lidah mereka.
Tapi, di saat yang lain, ia merasa aneh. Kenapa dua frasa itu, akhir-akhir ini demikian bergaram di lidahnya, tetapi demikian hambar di lidah orang muda? Tengoklah mereka, orang-orang muda, mengucapkan dua frasa itu seperti angin yang ringan, terlepas begitu saja, dan terhirup tak berasa. Dua frasa itu mereka ucapkan di merata ruang, merata waktu. Dari ruang-ruang keluarga, sampai dalam percakapan di kedai kopi. Dan setelahnya, secara tersurat, memang tak ada satu pun peristiwa buruk yang tampak terjadi, seperti layaknya ketika ia, si lelaki renta, yang mengucapkannya.
"Datuk kan bisa melihat akibatnya, ketika dua frasa itu keluar dari mulut Datuk yang bertuah itu. Badai topan datang menyerang dari arah laut. Habis semua rumah-rumah penduduk. Lintang-pukang seisi kampung nelayan. Nah, kalau Datuk memang tak ingin melihat anak-cucu-cicit datuk porak-poranda, ya sebaiknya Datuk jangan sesekali menyebut dua frasa itu. Dan Datuk tak boleh iri pada kami, ketika kami dengan sangat bebas bisa menyebut dua frasa itu, karena Datuk sendiri tahu bahwa lidah kami memang tak sebertuah lidah Datuk."
Tapi ia, si lelaki renta itu, selalu merasakan ada yang aneh. Instingnya mengatakan bahwa ada badai-topan dalam wujudnya yang lain yang sedang menyerang, sesuatu yang tersirat. Sejak ia mengunci mulut untuk tidak menyebut dua frasa itu, justru kini ia menyaksikan persitiwa-peristiwa buruk yang lain datang, sedang menyusun kaleidoskopnya sendiri. Tengoklah, kenapa kian menjamurnya anak-anak perempuan yang hamil luar nikah, dan anak-anak terlahir tak ber-Ayah. Kenapa kian dahsyatnya anak-anak muda yang tenggen, mengganja, dan saling membangun anarkhi dan istana-istana mimpi dalam tubuh mereka. Kadang-kadang malah mereka kini tampak serupa robot, atau bahkan kerbau dungu, atau serupa mesin-mesin yang bergerak cepat tak berarah, membabi-buta. Akibatnya, kampung nelayan yang serupa tempurung ini, kini lebih tampak sebagai sebuah ruang diskotek tua yang pengap, sebuah ruang yang sedang menanggung beban masa lampau sekaligus beban masa depan.
Dan tengoklah pertikaian demi pertikaian yang terjadi. Jaring Batu hanyalah sebuah sebab, yang membuat perahu-perahu dibakar, orang-orang diculik, dipukul, dan perang saudara kemudian membangun tembok yang sangat angkuh di antara orang-orang Pambang dan orang-orang Rangsang. Hanya egoisme sesat yang membuat mereka lupa bahwa mereka sesungguhnya berasal dari satu rumpun, satu ras, satu suku. Dan mereka para nelayan, yang mestinya adalah para penjaga tepian ini, tapi kini mereka telah menjelma para nelayan yang meruntuhkan tepian ini.
Peristiwa buruk lain yang kini melanda adalah timbulnya beragam penyakit yang aneh. Penyakit-penyakit yang tak bisa disembuhkan hanya dengan tusukan jarum suntik pak mantri, dan kebal dari obat-obat generik yang dijual di kedai-kedai runcit. Dan anehnya lagi, penyakit-penyakit itu membuat si penderita seperti terkunci mulutnya untuk bisa mengucapkan dua frasa itu. Dan biasanya, ujung dari deritanya, mereka kebanyakan menjadi bisu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun selain erangan.
Dan ia, si lelaki renta itu, seolah dapat memastikan bahwa sebab dari semua ini adalah karena kelancangan mereka yang menyebut dua frasa itu secara sembarangan. Tak hanya itu, dua frasa itu kini bahkan telah diperjual-belikan ke mana-mana, karena rupanya ia bernilai tinggi karena dianggap eksotis dan jadi ikon historis. Maka dua frasa itu diproduksi, seperti layaknya memproduksi kayu arang atau ikan asin. Dan anehnya, mereka tidak percaya bahwa lidah mereka sendiri sebenarnya juga bergaram. Tapi mungkin garam dengan rasa asinnya yang lain.
Sesekali ia, lelaki renta itu, pernah juga melemparkan saran, "Sebenarnya kalian juga tak boleh menyebut dan memperlakukan dua frasa itu secara sembarangan. Buruk padahnya nanti." Tapi, saran dari seorang renta yang bersuara parau, bagi mereka, hanya bagai suara gemerisik semak dalam hutan. Dan mereka selalu menjawab dalam bisik yang sumbang, "Maklum, masa mudanya tak sebahagia kita…"
***
Tapi di malam yang mendung itu, ia tak menduga tiba-tiba segerombolan orang secara agak memaksa, membawanya ke tepian laut. Lelaki renta itu bingung, kenapa orang-orang yang biasanya selembe saja padanya, kini demikian bersemangat memintanya untuk ikut bersama mereka. Apakah ada sebuah perayaan? Setahu ia, di sepanjang bulan ini tak ada perayaan hari besar maupun perayaan adat. Dan, kalaupun ada, biasanya ia lebih sering tidak diundang, karena mungkin dianggap telah demikian uzur, atau mungkin kehadirannya membuat orang-orang muda tak bebas berekspresi, karena pastilah terkait dengan pantang-larang.
Sesampainya di tepian laut, ia menyaksikan orang-orang telah duduk bersila, sebagian bersimpuh, di atas pasir hitam. Mereka tampak tertunduk demikian hikmat. Di bibir pantai, terlihat beberapa buah perahu yang berbaris, seperti barisan meriam yang moncongnya mengarah ke laut, siap diluncurkan. "Ah, inilah satu frasa itu, yang tampaknya akan dilayarkan ke satu frasa yang lain," pikir lelaki renta itu. Dan ia langsung dapat menduga bahwa akan ada sebuah upacara pengobatan tradisional. Tapi siapa yang sakit?
Seorang muda, tiba-tiba seperti berbisik ke telinga lelaki renta itu. "Datuk, kami mengundang Datuk ke sini untuk meminta Datuk supaya bisa mengobati kami semua." Lelaki renta yang dipanggil Datuk itu agak terkejut. Keningnya berkerut. Ia tidak melihat ada gejala atau tanda-tanda bahwa orang-orang yang berada di sini dalam keadaan sakit. Yang tampak olehnya adalah sekumpulan besar orang yang seperti sedang berdoa. Tapi pemuda itu berbisik lagi, "Datuk, kami semua yang berkumpul di sini sedang menderita penyakit bisu. Sebagian mereka telah benar-benar bisu dan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dan sebagian kecil yang lain, termasuk saya, tak bisa mengucapkan dua frasa itu, Datuk. Sementara untuk melakukan upacara ini tentu harus mengucapkan dua frasa itu kan, Datuk? Untuk itu, kami semua meminta Datuk untuk melakukan prosesi pengobatan… …pengobatan…pengobatan…tak bisa Datuk, saya betul-betul tak bisa mengucapkannya." Lidah pemuda itu seperti tersangkut saat hendak menyebut sebuah frasa.
Lelaki renta itu seperti tak percaya. Tapi kepalanya tampak mengangguk-angguk perlahan. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga pemuda, dan membalas berbisik, "Anak muda, kalian pernah melarangku untuk mengucapkan dua frasa itu. Kini kalian juga yang meminta aku untuk mengucapkannya. Apakah kalian tak takut badai topan yang akan menyerang? Kalian tak takut maut?"
Pemuda itu tertunduk ragu. Tak lama kemudian berbisik kembali. "Datuk, kami semua pasrah. Kalaulah ditakdirkan untuk menerima badai topan, dan kami harus mati karenanya, mungkin itu akan lebih baik daripada kami harus hidup membisu, dan tak bisa mengucapkan dua frasa itu…"
Bibir lelaki renta itu mengguratkan senyum. Ia kini tak yakin bahwa ia akan mampu bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya. Paling tidak di dalam hatinya, ia senantiasa mengucapkan dua frasa itu menjadi sebuah kalimat, Lancang Kuning yang tersesat di tepian Selat Melaka.***
Pekanbaru, 2005
Kota Kelamin
Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.
Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.
Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.
Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.
Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.
Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.
Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.
Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.
Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.
Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.
Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.
Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.
Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.
Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.
Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.
Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?
Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.
Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.
Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.
Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?
Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.
Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati. ***
untuk Hudan Hidayat yang ’takkan pernah sembuh’
Jakarta, 1 September 2005
Tentang Pengarang
Mariana Amiruddin, Magister Humaniora Kajian Wanita Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan
dan Manager Program Yayasan Jurnal Perempuan. Bukunya antara lain Perempuan Menolak Tabu, Beyond Feminist dan novel berjudul Tuan dan Nona Kosong bersama Hudan Hidayat.
Buroq
Tak ada yang lebih aneh dari pada terbangun pada sebuah sore gerimis di bulan suci dan mendapati dirinya penuh mengingat mimpi yang baru saja turun dalam lelap satu menit lalu; ia seorang bejat yang tak pernah salat- bermimpi bertemu Muhammad. Bagaimana bisa?
Inilah yang dikerjakannya setiap hari, bangun menjelang siang setelah malamnya menghabiskan berbotol-botol bir bersama teman-teman di depan kios tattonya. Tidak ada yang pernah benar-benar tahu siapa nama aselinya. Semua orang memanggilnya Cimeng, tentu itu bukan nama aslinya. Kulitnya gelap dan dia menggambarinya dengan tatto berwarna-warni. Dia menyebutnya seni, teman-temannya menyebutnya keren, anak-anak ABG menyebutnya anak punk, sedang tetangga-tetangga yang sudah pasti tidak menyukai kios tattonya menyebutnya berandal.
Pencerita mimpi siang itu sangat baik pada dirinya. Tentu saja ia heran, dirinya yang selama ini menganggap dunia brengsek maka dia harus menjadi seorang brengsek pula, tiba-tiba menjadi orang terpilih yang bertemu Muhammad dalam mimpinya. Ia tak tahu apa artinya, tapi mimpi itu sangat jelas. Hanya ada satu yang tidak jelas; wajah Muhammad.
Telah 10 hari bulan Ramadhan, dan ia baru tiga kali benar-benar berpuasa. Siang saat ia bermimpi bertemu Muhammad adalah hari dirinya berpuasa untuk yang ketiga kalinya. Bukan karena merasa wajib, tetapi karena hari itu ia malas keluar dari rumah sewanya untuk membeli makanan. Hari itu diisinya dengan tidur dan baru terbangun saat aroma bunga menyeruak hidung bercampur denting gerimis yang membawa aroma tanah. Matanya terbuka, ia ngulet ke arah matahari datang. Jendela terbuka menyuguhkan pemandangan mozaik, sedikit linglung merasa tak pasti apakah itu pagi atau sore. Ia dibangunkan oleh mimpi yang aneh; lelaki itu penuh wibawa berdiri di atas buroq; kendaraan yang konon lebih cepat dari cahaya dan membawanya ke lapis langit ketujuh.
*
Saat terbangun, ia melihat pemandangan matahari kemerahan di balik jendela terbuka, gerimis, serta pohon kamboja di sebelah rumahnya yang bertetangga dengan kuburan kecil menyeruak aroma bunga merah muda. Ia mengingat-ingat, apakah saat itu pagi atau senja. Usianya baru tujuh tahun tapi ia sanggup berpuasa penuh. Ibunya yang tiba-tiba muncul dari balik pintu menyapa dengan lembut, "Qatrun, salat asar dulu. Sebentar lagi magrib." Kini ia tahu, dirinya terbangun pada sebuah sore gerimis di bulan suci. Ia tak bergegas, mengingat-ingat mimpinya satu menit yang lalu. Sebuah mimpi yang jelas, hanya satu yang tidak begitu jelas; wajah Muhammad dalam mimpinya.
Sehabis berbuka puasa dan magrib lewat, Qatrun kecil mengambil sarung dan peci. Teman-temannya berteriak memanggil-manggil namanya di depan rumah, mengajak pergi ke surau berbarengan untuk tarawih. Kali ini setelah tarawih selesai ia tidak langsung pulang. Bahkan saat teman-teman merayunya dengan segenggam mercon yang disembunyikan di balik sarung untuk diledakkan di perempatan jalan, Qatrun tetap berada di surau dan menunggu sepi, ingin berbicara dengan Ustaz.
"Ustaz, aku bermimpi aneh."
"Mimpi apa?"
"Muhammad."
"Kau mimpi bertemu Muhammad?" ia harus mengakui ada rasa iri menyelip. Bahkan dirinya yang sudah berumur dan menganggap cukup taat belum pernah mimpi bersua Muhammad. "Bagaimana ia?"
"Ia berdiri di atas buroq dengan wajah yang tidak begitu jelas dan menatap ke arah kami."
"Kami?"
"Aku dan sekelompok orang. Tetapi mereka tidak ada yang percaya kalau dia Muhammad. Hanya aku dan seorang laki-laki beraroma minuman keras yang berdiri di sebelahku yang percaya."
"Lelaki beraroma minuman keras?" tanya Ustaz setengah sanksi. Qatrun mengangguk yakin, "seperti apa buroq?"
"Seperti sampan panjang,"
"Lalu bagaimana kau tahu Muhammad naik buroq, bukan naik sampan?"
"Aku tahu, Ustaz! Itu buroq, bukan sampan."
*
Menjelang magrib, laki-laki yang dipanggil Cimeng itu berjalan ke mini market dekat rumah sewanya dan membeli roti tawar untuk makan. Ia masih tetap mengingat-ingat mimpinya tadi. Ada sekelompok orang, namun hanya dirinya dan seorang bocah yang percaya bahwa lelaki yang berdiri di atas buroq itu adalah Muhammad. Usai makan dan mandi, tangannya tergerak. Ia mengambil jarum tatto dan mulai menggambar di lengannya. Sebuah sampan berwarna hijau dan sebuah lingkar di atas sampan berwarna kuning. Warna cahaya.
*
Qatrun tahu, minum keras itu beraroma seperti apa walaupun ia tak pernah menyentuhnya barang sedikit. Ia mengenali warna raut wajah memerah jika seseorang mabuk. Ia juga tahu bahwa minuman keras itulah yang menyebabkan ibunya memar-memar. Malam-malam saat ayahnya masih agak sering pulang ke rumah dalam keadaan teler, ibu selalu menunggu hingga tertidur di kursi panjang yang tak patut disebut sebagai sofa di ruang depan rumahnya yang kecil. Saat pulang, tak jarang ayahnya membawa aroma sangit keringat bercampur minuman keras, penat yang sangat, serta sedikit uang hasil menyupir truk. Itu bukan pemandangan baru bagi Qatrun. Jika ibu bertanya habis dari mana, tangan ayahnya melayang ke pipi ibu, meninggalkan bekas memerah. Sedang ia akan terbangun, mengintip dari balik tirai pintu. Hingga suatu hari ayahnya tak pernah kembali walaupun ibu masih menunggu pada malam-malam setelah isya' didirikan dan mengambil selembar bantal tipis untuk menyangga lehernya di kursi panjang di ruang tamu mereka yang kecil.
Di kamarnya yang kecil, Qatrun menggambar. Sebuah sampan panjang berwarna hijau terang, dan sebuah lingkar di atas sampan yang dikelir warna kuning. Warna cahaya.
*
Walau sekarang Ramadhan, dan Cimeng mengaku beragama Islam, ia tetap tidak puasa, tentu saja. Ia sedang menerima order tindik di lidah seorang anak usia SMA.
"Gambar apaan nih?" tanya ABG itu. Lengan Cimeng yang terbuka memperlihatkan tatto-tattonya yang sudah tak terhitung. Anak itu tertarik pada sebuah tatto yang baru dibuatnya dua hari lalu.
"Ini...," ia urung menjelaskan, "nurut elo gambar apa?"
"Bola naik perahu ya?" Cimeng hanya tersenyum atas jawaban si ABG.
Kios tatto di rumah sewanya baru sepi menjelang siang. Cimeng duduk terdiam, ia tiba-tiba merasa lelah sekali. Dihitungnya sudah berapa lama dia pergi dari rumah dan tak kembali. Ia hanya mengirimkan sesekali surat untuk rumahnya saja. Tapi dia tak pernah benar-benar tahu apa yang ingin ditulisnya. Ibunya selalu bertanya, kapan akan pulang. Semakin banyak tatto dan tindik yang dia buat di tubuhnya, semakin urung pula ia pulang. Walau kadang-kadang ingin.
*
Malam berikut saat buka puasa Qatrun menunjukkan gambar itu pada ibunya.
"Gambar apa ini? Ibu ndak ngerti."
"Ini gambar mimpiku, Bu."
"Mimpi apa?"
"Ini Muhammad," katanya menunjuk gambar lingkar berwarna kuning, "ini buroq, kendaraan saat Muhammad pergi ke langit ketujuh bersama malaikat."
"Kapan kamu mimpi ini?"
"Kemarin, waktu tidur siang."
Ibunya terharu, mengelus pelan rambut anaknya. Seperti biasa, Qatrun selalu pergi ke masjid untuk tarawih. Selesai tarawih kali itu pula ia tak langsung pulang. Ditunjukkannya gambarnya pada Ustaz dan beberapa teman lain. Ia jelaskan, gambar itu adalah Muhammad sedang naik buroq.
"Qatrun, hanya orang-orang terpilih yang bisa ditemui Muhammad di mimpinya," ujar Ustaz.
"Apakah itu berarti aku orang terpilih?"
"Kau yakin tak berbohong atas cerita mimpimu itu? Berbohong itu dosa." Teman-teman yang tadinya antusias mendengar cerita Qatrun bermimpi bertemu Muhammad, jadi terdiam. Memandang bergantian antara Qatrun dan Ustaz. Qatrun kecewa akan perkataan Ustaznya. Ia mengambil gambar itu.
Pergi dari surau dan tak pernah datang lagi untuk salat subuh, atau magrib, atau isya� atau tarawih. Gambar itu diletakkan begitu saja di atas meja. Tak pernah ia menyentuhnya lagi, hingga gambar itu hilang entah ke mana. Qatrun sekarang lebih suka membuat bermacam-macam gambar di bukunya. Tak hanya buku gambar, tapi buku tulis sekolah juga jadi penuh gambar. Ia tak hanya menggambar gunung, sawah dan rumah kecil. Kini gambar-gambarnya jadi berragam dan makin rumit. Qatrun pun jadi pendiam, hingga suatu hari dia bercita-cita akan meninggalkan rumah jika sekolah selesai.
*
Kios tatto hari itu ditutup, rumah sewa juga tutup. Anak-anak punk dan ABG yang sering mangkal di situ heran karena rumah itu tiba-tiba tutup dan digembok. Cimeng pergi mematikan HP-nya setelah sebelumnya dia mengirimkan sebuah SMS ke seorang temannya. Gue mudik, bunyi SMS itu.
Ia tak percaya, kampung kecil itu dijejakkinya lagi. Ia tak yakin ibu dan teman-temannya masih mengenalinya setelah pergi dari kampung itu tujuh tahun yang lalu, mengingat begitu banyak tatto dan tindik di tubuhnya sekarang. Ia khawatir ibunya tak mengenalinya. Saat ia sampai dan mengetok-ngetok pintu, rumah kecil itu tak dikunci. Cimeng masuk tanpa permisi. Seorang perempuan paruh baya berjilbab tertidur di kursi panjang yang tak bisa disebut sofa dengan sebuah bantal tipis menyangga lehernya. Selembar kertas bergambar sebuah sampan berwarna hijau dan lingkaran kuning keemasan berada di dekapannya. Bertahun-tahun, dan anaknya tak pernah tahu bahwa ia masih menyimpan gambar itu. Ibu, Qatrun pulang.
Bingkai
UNDANGAN dari Susan kuterima di kantor menjelang pukul tiga, ketika aku keluar dari ruang rapat. Rencana menyeduh kopi untuk mengusir kantuk segera terlupakan. Perhatianku tersita pada amplop yang didesain sangat bagus.
Saat kubuka sampul plastiknya, telepon di mejaku berdering. Aku mengangkat telepon tanpa menghentikan upayaku mengeluarkan art-carton yang dicetak dengan spot ultra violet pada tulisan "Bingkai".
"Selamat siang dengan Dudi, Auto Suryatama," sambutku automatically.
"Ahai, tumben kamu ada di tempat!" Seru suara dari seberang.
"Maaf, siapakah ini?"
"Susan! Kamu lupa suaraku? Padahal baru dua bulan yang lalu kita bertemu. Tak hanya bertemu, karena sepanjang dua malam kita bersama-sama." Ada nada gemas yang merasuk ke telingaku. "Sorry, aku telepon ke kantor. Hp-mu tidak aktif."
"Astaga!" Aku tertawa dan meminta maaf. Bukan tidak aktif, lebih tepat: nomornya berbeda. "Aku baru saja menerima sebuah undangan, jadi konsentrasiku bercabang. Tampaknya ini undangan darimu! Jadi rupanya kamu serius dengan rencana itu?"
"Tentu! Kenapa tidak? Kamu pasti ingat cita-citaku sejak SMA. Sudah sejak lama aku bermimpi bisa tinggal di Ubud. Tapi tidak mungkin aku terus-terusan berlibur membuang uang di sana. Jadi kuputuskan untuk mendapatkan kepuasan batin sekaligus finansial…"
"Aku harus bertepuk tangan untuk kegigihanmu. Hebat!"
"Ini juga karena ada bara cinta yang terus-menerus membakar."
Aku terkesiap mendengarnya.
"Cintamu, Dudi!" sambung Susan.
Entahlah: seharusnya aku melonjak gembira atau terkesiap waspada mendengar ucapannya yang demikian mantap? Tentu agak mengherankan jika seorang gadis Solo memekikkan kata itu, bukan membisikkan, yang mudah-mudahan tidak sedang antre di depan kasir supermarket.
"Dudi, kenapa kamu diam saja?"
"Oh, sorry! Sebenarnya aku mau melonjak-lonjak, tapi tentu salah tempat. Di depan mejaku sudah ada yang menunggu, mau membicarakan pekerjaan…"
"Oke, Sayang. Aku akan meneleponmu lagi nanti. After office hour, ya!"
Gagang telepon masih di telinga, menunggu Susan memutuskan hubungan. Bahkan setelah hubungan telepon terputus, seperti masih kudengar nada gembira Susan di telinga. Rembes ke dalam hati. Aku menghela napas seperti keluar dari ruang yang pengap, dan kusandarkan punggungku ke kursi yang lentur. Tak ada siapa-siapa di depanku. Jadi, aku tadi berdusta. Maafkan aku, Susan. Ternyata aku telah banyak berdusta. Tapi, percayalah, kasih sayangku kepadamu begitu jujur.
***
SEINGATKU tadi Lanfang minta dibawakan kue, karena malam ini sepupunya akan datang. Sambil meluncur pulang aku merencanakan singgah di sebuah bakery. Ada toko kue langganan sebenarnya, tapi di tengah perjalanan aku terpikat pada kerumunan yang mengundang selera untuk mampir. Selintas kulihat, di kiri dan kanan tempat ramai itu juga ada kafe dan kedai roti. Jadi tak terlampau salah jika aku sejenak berhenti dan mencari tempat parkir. Untung Swift yang kukendarai bukan tipe mobil besar, sehingga mudah mendapatkan tempat.
Rupanya sedang berlangsung seremoni pembukaan sebuah galeri, yang ditandai dengan pameran karya para pelukis muda Surabaya. Kulihat sepintas, ada Joko Pekik di ruang benderang itu: ikut berpameran atau hanya diminta pidato? Entahlah! Yang terbayang olehku adalah peristiwa serupa, yang akan berlangsung minggu depan di Ubud. Dan di tengah lingkaran para tamu, kuangankan si anggun Susan, dengan rambut dibiarkan terurai, bak burung merak yang tersenyum lebar memperkenalkan galerinya. Apa namanya tadi? Bingkai!
Aku turun dari mobil, melenggang masuk dalam kerumunan. Siapa pemilik galeri ini? Kalau Lanfang tahu, tentu ingin juga "cuci mata" di sini, apalagi dia sedang keranjingan mengapresiasi seni lukis, gara-gara pernah diminta oleh majalah untuk menulis liputan pameran di Balai Pemuda. Waktu itu dia mengeluh, karena tak tahu harus mulai dari mana untuk menilai lukisan.
"Aku iki isane nulis cerpen, lha kok dikongkon gawe resensi lukisan, yok opo sih?!" Ya. Aku ini bisanya cuma menulis cerpen, kenapa disuruh membuat apresiasi lukisan, bagaimana sih?!
Aku nyaris terpingkal melihat dia mencak-mencak. Tapi rasa ingin tahu dan semangat belajarnya cukup tinggi, sehingga waktu itu, selang sehari dia bisa bertemu dengan beberapa pelukis. Bahkan hari berikutnya dia berhasil membuat janji dengan seorang kurator untuk berbincang-bincang. Seharusnya kini ia berterima kasih kepada majalah wanita di Jakarta yang pernah memintanya untuk melakukan itu. Karena sekarang pikirannya lebih sensitif terhadap seni lukis dan grafis.
Sepuluh menit kuhabiskan waktu di galeri yang berinterior minimalis. Meskipun tampaknya tidak perlu menunjukkan undangan, tapi aku tentu bukan tamu yang dimaksud. Selanjutnya aku masuk ke kedai roti di sisi kanan, dan memenuhi pesanan Lanfang.
Sepanjang sisa jalan pulang, yang kupikirkan adalah cara pergi ke Bali. Meskipun Surabaya tak terlampau jauh dari Bali, rencana ke sana di luar tugas kantor tentu akan memancing keinginan Lanfang untuk ikut. Itu tak boleh terjadi! Tidak mungkin mempertemukan dua perempuan yang kusayang itu dalam satu ruang dan waktu. Bukan khawatir akan menjadi gagasan buruk sebuah novel bagi Lanfang, tetapi pasti menyebabkan tiupan badai yang kemudian merubuhkan perkawinan.
Jadi, mesti ada perjalanan dinas ke Bali! Barangkali, agar tidak terlampau mencurigakan, isu itu harus kuembuskan ke telinga Lanfang sejak dini. Nanti malam, sebelum bercinta. Dengan demikian, tidak terkesan sebagai kepergian mendadak. Tapi… astaga, bukankah benak perempuan sering dihuni oleh akal yang fantastik? Bisa jadi, karena waktunya masih lama, Lanfang membongkar tabungan dan berinisiatif untuk ikut. Dengan cara itu, biaya penginapannya gratis, bukan?
Keringat mengembun di keningku. Tiba-tiba pendingin udara dalam mobil terasa tak sesejuk biasanya. Mungkin sebaiknya kusampaikan sehari menjelang keberangkatan. Sambil pura-pura mengeluh: kenapa perusahaan tidak pernah mempertimbangkan karyawan, seenaknya saja menugaskan keluar kota tanpa perencanaan yang matang. Aha, aku tersenyum membayangkan reaksi Lanfang, yang akan menghibur dengan: "Ya sudahlah, namanya juga tugas. Tentu ada hal yang bersifat urgent di sana." Seraya mengelus pipiku. Dan aku akan memeluknya dengan manja seperti bayi.
Tapi tarikan pipiku berubah. Senyumku beralih rasa cemas. Bagaimana jika Lanfang justru menyikapi dengan kalimat seperti ini: "Ya sudah, biar tidak suntuk di sana, aku ikut menemani. Malamnya kan bisa jalan-jalan ke kafe di Legian atau Kuta."
Belokan terakhir menjelang tiba di rumah mendadak terasa tidak nyaman. Padahal tak ada "polisi tidur" di situ. Tapi aku berharap jarak yang kutempuh masih panjang dan perlu beberapa lampu merah. Agar sempat mengatur strategi yang paling masuk akal. Namun pikiran itu tercerabut sewaktu telepon selularku bergetar. Susan!
"Hai, aku lupa meneleponmu! Tadi ada kawan yang tanya ini-itu soal acara di Ubud. Biar murah aku menggunakan event organizer milik teman SMP-ku."
"O, no problem. Kebetulan aku sudah di jalan raya."
"Ya sudah, aku paling benci melihat orang mengemudi sambil telepon. Sampai besok, ya. Mmmuah!"
Rasanya pipiku jadi basah oleh sentuhan bibirnya. Kuembuskan napas keras-keras dan mengharap rasa nyaman masuk ke dalam hati. Pagar rumah sudah di depan mata. Langit mulai gelap, lampu-lampu teras di kompleks perumahan sudah menyala. Dan seperti biasa, pembantu segera menarik-geser gerbang besi yang warnanya sudah mulai pudar. Aku memarkir mobil ke carport.
"Ingat pesananku?" Lanfang menyambut di pintu.
"Tentu, Cantik." Kuangkat tinggi-tinggi oleh-oleh titipannya.
"Terima kasih." Dipeluknya aku, meskipun aroma tubuhku tak sesegar tadi pagi. Lalu jemarinya membuka dasi dari leherku. Mudah-mudahan itu bukan caranya mencari harum parfum lain yang mungkin menempel di bajuku. Mudah-mudahan.
Yang tak ingin terjadi adalah: Lanfang menemukan undangan Susan. Aku mesti menyimpannya di tempat yang jauh dari jangkauan Lanfang.
***
AKU akan datang sehari sebelum grand opening Galeri Bingkai, yang ternyata letaknya tak jauh dari Galeri Rudana. Tempat yang sungguh rupawan dan sesuai dengan selera Susan. Dia seorang pemilih yang baik. Dia pula yang memilihkan hotel ketika aku bertugas ke Solo.
"Kamu harus menginap di Lor In," usulnya. Karena tempat itu memiliki banyak taman yang khas gaya Bali. Walaupun, ketika sudah melebur di kamar tidur yang luas, nyaris tak berbeda dengan hotel lain. Ingatanku justru selalu tersangkut pada rambut Susan yang berulang kali memenuhi wajahku. Biasanya kesibukan yang membuat tubuh kami lembab itu akan berakhir dengan aroma terapi di seluruh kamar mandi. Harum cendana memenuhi bath-tub.
"Cantik, akhir-akhir ini kamu begitu sibuk." Aku menelepon Lanfang dari kantor.
"Ya. Dalam seminggu ini aku harus sudah selesai memeriksa dan memberikan persetujuan pada calon bukuku sebelum naik cetak. Kenapa?"
"Besok aku tugas ke luar pulau. Ke Lombok, tapi mungkin singgah di kantor cabang Bali dulu. Aku belum sempat membereskan kopor, bisa minta tolong?"
"Oke, tak masalah. Kok mendadak? Berapa hari?"
"Baru kudapat surat tugasnya tadi siang. Sekarang aku harus mengambil tiket sendiri ke agen. Sekitar tiga-empat hari, tergantung bagaimana kondisi network di Lombok."
"Yo wis, ojo bengi-bengi mulihe. Kamu perlu istirahat malam ini."
Tentu tidak akan larut malam, karena sebenarnya tiket sudah kupegang. Tapi yang penting aku tahu, Lanfang begitu sibuk membaca ulang naskahnya yang sudah di-setting.
Rasanya tadi Lanfang mengingatkan agar aku cukup istirahat malam ini. Tetapi yang dilakukan berbeda dengan sarannya. Ia menandai halaman buku yang sedang dibaca, menyurutkan lampu kamar hingga temaram, lalu masuk ke bawah selimutku. Cumbuannya selalu dimulai dari bibir. Mungkin untuk mengingatkanku bahwa ia sesungguhnya tak hanya cerewet, tapi juga cekatan ketika pekerjaan larut malamnya dilakukan tanpa kata-kata.
Sebelum tertidur, Lanfang membiarkan wajahku menyusup ke lehernya. Ke dekat urat nadinya. Setidaknya ia tahu bahwa napasku terembus penuh cinta. Tetapi besok, begitu tiba di Denpasar, kutelepon Lanfang seperlunya, selanjutnya aku akan menggunakan nomor lain. Hanya Susan yang tahu nomor itu. Bagaimanapun, berdusta itu mendebarkan!
***
AKU memarkir mobil yang kupinjam dari kantor cabang di Bali. Senja baru saja lenyap. Kudengar musik sayup gamelan Bali. Rupanya Susan telah mengemas suasana menjadi begitu etnik. Kulihat dinding teras galeri mungil itu dibuat dengan batu paras. Lantai batu alam membuat kesan natural lebih mendalam. Cahaya lampu yang menyiram beranda langsung memperlihatkan wajahku, sehingga Susan yang --seperti telah kuduga sebelumnya-- anggun dengan rambut terurai dan mengenakan kain corak Bali, menoleh ke arahku. Senyumnya merekah. Aku melihat matanya berbinar.
"Oke, teman-teman, para undangan dan wartawan, kekasih yang kutunggu sudah tiba. Kita akan mulai acaranya…"
Aku agak kikuk, namun Susan meleburnya dengan pelukan yang begitu mesra. Ada beberapa bule yang hadir di sana. Justru membuat Susan tidak merasa sungkan mencium bibirku. Dan entah kenapa, para wartawan itu begitu gemar dengan hal-hal yang berlangsung sebentar tetapi berdenyar. Mereka memotret. Sejenak mataku silau.
Namun ketika pelukan Susan lepas dan aku mencoba mengitarkan pandangan, di antara pengunjung kulihat seseorang yang sangat kukenal. Mataku masih terpengaruh oleh kilat lampu blitz. Tapi tidak mungkin lupa wajah istriku.
Lanfang ada di sudut itu! Dengan sebuah kamera digital di tangannya. Wajahnya tertegun. Atau terpesona? Tapi parasnya memucat.
"Baiklah," ujar master of ceremony. "Kita akan mendengar awal gagasan mengenai Galeri Bingkai. Silakan Susan bercerita untuk kita…"
Selanjutnya telingaku tidak menangkap kata-kata Susan, karena segera bergegas mengejar Lanfang yang beringsut begitu cepat ke arah pintu keluar. Aku mengutuk diriku yang mengganti nomor handphone. Pasti ia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin. Apakah aku juga harus mengutuk majalah yang memintanya meliput acara ini? Bukankah dia sedang sibuk dikejar batas waktu oleh penerbit bukunya?
"Lanfang!" aku memanggil.
Di luar sunyi, tapi tidak dengan degup jantungku yang gemuruh.
"Nama Bingkai kupilih karena…." Suara Susan semakin sayup. Sementara di taman yang separuh gelap itu, aku mencari degup jantung Lanfang. ***
Simpang Ajal
SELESAI sudah tugas Montenero. Karenanya, kini ia tinggal bunuh diri. Bunuh diri! Itu saja. Betapa tidak! Ia telah membunuh tiga orang itu sekaligus. Ya, tiga orang. Santa, orang yang dengan serta-merta memenggal kepala bapaknya ketika bapaknya menolak menandatangani selembar kertas yang berisi surat perjanjian untuk terikat dengan sebuah partai. Lantas Denta, yang ketika pembunuhan itu terjadi berusaha membungkam mulut bapaknya agar tidak berteriak, serta Martineau yang mengikatkan tali pada tubuh bapaknya agar bapaknya tak bergerak sedikit pun menjelang kematiannya. Karena itu, sekarang, Montenero sendiri tinggal bunuh diri!
"Selamat malam, Montenero. Sebaiknya kamu kubur dulu ketiga mayat itu baik-baik! Setelah itu, terserah!" ucap batin Montenero, meronta.
"Ya, kubur dulu! Lantas, selamat tinggal!" sisi kedirian batin Montenero yang lain menimpali.
Sesungguhnya Montenero memang tidak perlu menjumput beragam kebijaksanaan untuk sesegera mungkin mengubur mayat-mayat itu. Toh memang, tugas pembantaiannya telah usai. Dan dengan sendirinya, dendam yang bersemayam di dalam dirinya lunas terbalaskan.
"Tetapi, semestinya engkau mempunyai cukup rasa kemanusiaan untuk tidak membiarkan mayat-mayat itu menggeletak begitu saja karena kau bunuh! Kasihan tubuh mereka menggeletak! Semestinya jika dengan cepat mereka menjadi makanan belatung-belatung menggiriskan di dalam tanah. Bukan menjadi makanan empuk bagi lalat-lalat hijau!" Belati, yang telah menikam dada Santa, Denta, dan Martineau masing-masing sebanyak enam kali, yang sepertinya sangat tahu berontak batin Montenero, ikut angkat bicara.
Montenero menghela napas. Menggeliat.
"Ah, benar. Sudah semestinya. Sekarang, engkau harus bisa membebaskan pikiranmu dari angan-angan tentang balas dendam. Ingat, ketiga mayat itu telah menjadi seonggok daging yang tak berarti. Harus dikubur! Engkau harus mengubah pola pikir yang begitu konyol itu, Montenero," cecar sebilah Pedang, yang rencananya ia gunakan juga untuk membunuh, tetapi Santa, Denta, dan Martineau ternyata cukup memilih mati cuma dengan sebilah Belati.
"Oh ya. Ya. Aku ingat lagi sekarang. Engkau harus mempersiapkan banyak keberanian agar kau menjadi tidak gagu dalam bersikap. Jangan seperti ketika kau akan membunuh! Kau hunjamkan diriku ke dada ketiga mayat itu dengan gemetar. Sekarang, untuk menguburkan ketiga mayat itu, tak perlu ada denyut ragu yang berujung gemetaran badan, desah napas memburu, suara terengah-engah, dan keringat dingin yang keluar berleleran. Semua itu harus diubah. Dengan segera!"
Montenero melirik jam tangan. Kurang tiga puluhan menit kokok ayam bakalan meletup kejut. Ia menghapus keringat dingin yang perlahan-lahan tapi pasti mulai membanjiri muka dan tangannya.
"Cepat lakukan! Keberanian telah datang dengan sendirinya. Lakukan!"
Angin pagi mendesir. Jam tangan terus berdetak. Montenero pucat. Lunglai. Apa yang dikatakan oleh Belati dan Pedang itu ada benarnya. Tak ada kebijaksanaan lain menjelang pagi hari itu kecuali penguburan. Tentu saja, penguburan dengan segala kelayakannya. Ada dupa, bunga, kain pembungkus mayat, dan pastilah keberanian. Untuk yang terakhir, soal keberanian itu memang sudah sedikit dimiliki Montenero. Tetapi, untuk dupa, bunga, dan juga sesobek kain pembungkus mayat? Atau, pikiran tentang sesobek kain pembungkus mayat sungguh tak diperlukan lagi?
"Ah, begitu banyak pertimbangan kau! Ambillah cangkul! Gali tanah yang cukup untuk mengubur ketiga mayat itu sekaligus. Cepat! Tunggu apa lagi, ha?! Ayo, berikan kelayakan kematian kepada Santa, Denta, dan Martineau. Setidaknya, agar ruh mereka bisa sedikit tertawa di alam baka sana. Cepat Montenero! Waktu tinggal sebentar! Masih ada tugas-tugas lain yang harus kau panggul untuk mencipta sejarah. Sejarah, Montenero! Jangan main-main! Cepat! Ayo, dong. Cepat!!!"
Montenero diam. Terpaku. Ia sebenarnya memang tidak perlu mempertimbangkan apa-apa lagi kecuali segera mengubur ketiga mayat itu serapi mungkin, agar paginya tidak sia-sia karena dikorek-korek anjing. Lantas, selesai! Sejarah baru tergores. Bapaknya yang mati sangat mengenaskan dengan kepala terpenggal dari tubuhnya, terbalas sudah. Meskipun kematian Santa, Denta, dan Martineau tidak sempurna seperti kematian bapaknya, tetapi setidaknya mati. Itu saja. Karena hanya sisa keberanian itulah yang dimilikinya. Kebetulan memang juga mati, bukan? Tuntaslah cerita ibunya yang selalu membekas dalam ingatan dan membuatnya selalu berpikir dan bersikap semirip orang sableng.
Montenero memutuskan mengambil cangkul. Belati dan Pedang tertawa. Membuat Montenero kembali gundah, berada dalam sangkar kebingungan. Keringat berleleran lagi dari sekujur tubuhnya. Tangannya kembali gemetar. Dengan berteriak sekeras mungkin, Montenero membanting cangkul yang sudah tergenggam kencang di tangannya. Berarti keberaniannya sedikit hilang, bukan? Bahkan barangkali hilang sama sekali? Belati dan Pedang kebingungan. Keduanya pucat pasi. Motivasi apa yang mesti disuntikkan untuk membangkitkan kesadaran keberanian Montenero menjelang matahari terbit?
"Aku tak mampu lagi melakukan apa-apa. Aku telah menuntaskan tugasku. Aku telah mencipta…. Uh…. Semestinya kau tak menghimpitku dengan hal-hal kecil yang justru akan menjebakku pada rasa bersalah semacam ini!" dengan suara penuh gemetar, seolah dicekam oleh ketakutan entah apa, Montenero angkat bicara.
"O…. Kau menganggapnya hal kecil, Montenero? Harusnya aku tadi menolak untuk kau gunakan membunuh jika kau menganggap penguburan adalah sebagai hal yang kecil, remeh. O…. aku bisa saja mogok untuk membunuh bila akhirnya kau malah bimbang sikap semacam ini! Kau tahu, Montenero. Aku bisa balik mengubah keberanianmu untuk membunuh. Aku bisa tiba-tiba saja menikam dadamu sendiri di depan Santa, Denta, dan Martineau. Bangsat! Anjing, kau!!!"
Montenero terpaku. Suasana di sekitar tempat pembantaian itu merayap senyap. Montenero berulang-kali blingsatan. Montenero terus-menerus mengusap keringat yang berleleran membasahi sekujur wajah. Dan detik terus saja berdetak. Sesekali ia garuk-garuk kepala sembari berjalan mondar-mandir. Belati dan Pedang cuma memandangi saja. Bisa jadi, Belati dan Pedang memang sudah kehabisan kata-kata untuk memotivasi Montenero. Sesekali dilihatnya mayat Santa yang terbujur kaku, Denta yang terkapar melingkar bagai ular, dan Martineau yang jika diperhatikan secara jeli ternyata malah tersenyum di puncak kenyerian kematiannya.
"Bagaimana, Montenero? Bagaimana? Aku masih sanggup membikin keberanian buatmu. Belum terlambat, dan tak akan pernah terlambat. Aku masih bersabar bersama Pedang."
"Bagaimana?" Montenero mengusik tanya kepada dirinya sendiri.
"Terserah!"
"Bagaimana, Belati?"
"Terserah! Bagaimana dengan kamu, Montenero? Masih sanggup kau mendengar kata-kataku? Ok. Engkau masih bisa bekerja dengan cepat menanam ketiga mayat itu baik-baik. Ambillah cangkul itu. Keduklah tanah segera. Kuburkan mereka senyaman mungkin. Ah, bulan yang sebentar lagi bakalan angslup itu juga pasti merestui dan memandangimu dengan rasa puas. Barangkali, ia bakalan memberi ucapan selamat kepadamu. Kenapa engkau mesti terjebak pada rasa ragu? Ayo, aku senantiasa berada di belakangmu!"
Aih, ayam telah berkokok bersahutan. Meskipun ayam baru berkokok, keadaan di sekitar tempat pembantaian itu sudah cerah. Udara meruapkan kesegaran. Montenero terlambat. Ia belumlah membuat perhitungan-perhitungan untuk bergegas menyuruh Belati agar mau menikamkan diri ke dada Montenero yang kini telah disesaki gebalau bingung, ketololan, amarah, dan entah apa lagi, juga entah ditujukan buat siapa lagi. Montenero betul-betul lunglai, lenyap keberanian, tercipta goresan sejarah yang entah baru entah tidak. **
Menu Makan Malam
Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi
Ibu bersumpah untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia terobsesi mewujudkan keluarga yang bahagia melalui media makan bersama. Maka, ia menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya. Daftar itu tersusun rapi di dalam sebuah buku folio usang setebal dua kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia, berurut dari menu masakan berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri kamus itu sejak usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan dari daerah Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi kliping resep masakan dari tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus Oxford Advanced Learner.
Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu lain. Dalam kepalanya seolah hanya ada tiga kata, menu makan malam. Setiap detik, setiap helaan napasnya, pikirannya adalah menu-menu masakan untuk makan malam saja. Makan malam itulah ritual resmi yang secara tersirat dibikinnya dan dibuatnya tetap lestari hingga saat ini. Meskipun, ketiga anaknya telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut mempersiapkan makan malam sedemikian rupa sama seperti ketika ia melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu hari.
Keluarga ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan kebiasaan bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu. Mereka berbicara tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan saling mendengarkan cerita masing-masing. Tak peduli apakah peristiwa-peristiwa itu nyambung atau tidak, penting bagi yang lain atau tidak, pokoknya bercerita. Yang lain boleh menanggapi, memberi komentar atau menyuruh diam kalau tak menarik. Muka-muka kusut, tertekan, banyak masalah, stres, depresi, marah, kecewa, terpukul, putus asa, cemas, dan sebagainya, bisa ditangkap dari suasana di atas meja makan. Sebaliknya muka-muka ceria, riang, berseri, berbunga-bunga, jatuh cinta, juga bisa diprediksi dari ritual makan bersama ini. Ibu yang paling tahu semuanya.
Ia memang punya kepentingan terhadap keajegan tradisi makan bersama ini. Satu kepentingan saja dalam hidupnya, memastikan semua anggota keluarganya dalam keadaan yang ia harapkan. Bagi Ibu, sehari saja ritual ini dilewatkan, ia akan kehilangan momen untuk mengetahui masalah keluarganya. Tak ada yang bisa disembunyikan dari momen kebersamaan ini. Dan kehilangan momen itu ia rasakan seperti kegagalan hidup yang menakutkan. Ia tak mau itu terjadi dan ia berusaha keras untuk membuat itu tak terjadi.
Ia tak berani membayangkan kehilangan momen itu. Sungguh pun tahu, ia pasti menghadapinya suatu saat nanti, ia merasa takkan pernah benar-benar siap untuk itu. Yang agak melegakan, semua anggota keluarganya telah terbiasa dengan tradisi itu dan mereka seolah menyadari bahwa Ibu mereka memerlukan sebuah suasana untuk menjadikannya "ada". Semua orang tahu dan memakluminya. Maka semua orang berusaha membuatnya merasa "ada" dengan mengikuti ritual itu. Namun, kadang beberapa dari mereka menganggap tradisi ini membosankan.
***
Jam empat pagi. Ibu telah memasak di dapur. Ia menyiapkan sarapan dengan sangat serius. Ibu tak pernah menganggap memasak adalah kegiatan remeh. Ia tak pernah percaya bahwa seorang istri yang tak pernah memasak untuk keluarganya adalah seorang Ibu yang baik. Jika ada yang meremehkan pekerjaan memasak, Ibu akan menangkisnya dengan satu argumen: masakan yang diberkahi Tuhan adalah masakan yang lahir dari tangan seorang Ibu yang menghadirkan cinta dan kasih sayangnya pada setiap zat rasa masakan yang dibikinnya. Ibu meyakini bahwa makanan adalah bahasa cinta seorang Ibu kepada keluarganya, seperti jembatan yang menghubungkan batin antarmanusia. Sampai di sini, anak-anaknya akan berhenti mendengar penjelasan yang sudah mereka hapal di luar kepala. Ibu takkan berhenti bicara kalau kedamaiannya diusik. Dan yang bisa menghentikannya hanya dirinya sendiri.
Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ia menyiapkan menu sesuai dengan yang tertera di daftar menu di lemari makanan. Telur dadar, sayur hijau dan sambal kecap. Ada lima orang di keluarganya. Semua orang memiliki selera berbeda-beda. Suaminya suka telur yang tak matang benar, agak asin, tanpa cabe. Aries suka telur yang benar-benar tergoreng kering, dan harus pedas. Pisca, suka makanan serba manis. Telur dadarnya harus setengah matang dengan kecap manis dan sedikit vitsin. Sedangkan Canestra, tak suka pada kuning telur. Sebelum didadar, kuning telur harus dipisahkan dulu dari putihnya. Jika tidak dibuatkan yang sesuai dengan pesanannya, ia bisa mogok makan. Berhari-hari.
Bagaimana dengan Ibu? Ibu bahkan tak pernah macam-macam. Telur dadarnya adalah yang standar, tidak ada perlakuan khusus. Ia boleh makan apa saja, yang penting makan, jadilah.
Pukul 07.05. Telur dadar setengah matang asin, telur dadar pedas, telur manis dengan vitsin, dan telur tanpa kuning, berikut sayur hijau dan sambal kecap telah terhidang. Semua telah menghadapi hidangan masing-masing sesuai pesanan. Makan pagi biasanya tak ada yang terlalu banyak bicara. Semua sibuk dengan rencana masing-masing di kepalanya. Kelihatannya, tak ada yang ingin berbagi. Aries kini sudah bekerja di sebuah kantor pemerintah, menjadi tenaga honor daerah. Ia harus tiba di kantor setidaknya pada tujuh dua lima, karena ada apel setiap tujuh tigapuluh. Pisca harus ke kampus. Ia duduk di semester tujuh kini. Tampaknya sedang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Wajahnya menunjukkan demikian. Mungkin akan bertemu dengan dosen pembimbing atau entah apa, tapi mukanya keruh. Mungkin banyak persoalan, tapi Ibu cuma bisa memandang saja. Sedang Canestra masih di SMA. Ia tampak paling santai. Tangannya memegang komik. Komik Jepang. Makan sambil membaca adalah kebiasaannya. Sang Bapak, duduk diam sambil mengunyah makanan tanpa bersuara dan tanpa menoleh pada yang lain. Pria yang berhenti bekerja beberapa tahun lalu itu tampak lambat menyelesaikan makannya. Ia menikmati masakan itu, atau tidak peduli? Tak ada yang tahu.
Satu per satu mereka meninggalkan ruang makan. Hanya piring-piring kotor yang tersisa di meja makan. Ibu membawanya ke dapur, mencuci piring-piring itu sampai bersih dan mengelap meja makan. Ritual berikutnya adalah menyerahkan anggaran belanja ke pasar hari itu kepada suaminya. Saat-saat inilah yang paling ia benci seumur hidupnya. Ia benci menerima uang dari suaminya yang selalu tampak tak rela dan tak percaya.
Akhirnya, memang bahan-bahan menu itu dipangkas seenak udelnya, ia tak mau tahu apa pun. Ujung-ujungnya ia cuma memberi sepuluh ribu saja untuk semua itu. Tentu saja kurang dari anggaran yang seharusnya, dua puluh ribu. Untuk itu semua, maka otomatis menu berubah; tak ada ayam bumbu rujak, tak ada capcay, yang ada tinggal perkedel jagung dan tempe. Sayur hijau, katanya, bolehlah. Yang penting sayur, dan murah. Ah…
Ibu berjalan ke pasar dengan gontai. Hari itu Jumat. Hari pendek. Anak-anak akan pulang lebih cepat dari biasa. Ia mempercepat langkahnya. Tak mudah membagi waktu, kadang pekerjaan teramat banyaknya sampai-sampai tak ada waktu untuk melakukan hal lain selain urusan dapur. Kadang ia berpikir ada sesuatu yang memang penting untuk dilakukan tapi itu akan mengabaikan urusan dapur dan itu berarti pula mengabaikan selera anak-anaknya. Itu tidak mungkin. Tak ada yang mengerti selera anak-anaknya kecuali dia.
Tapi kadang ia bosan berurusan dengan menu-menu. Ia telah mencoba semua menu yang ada di buku-buku masakan, ia telah mencoba semua resep masakan di teve, dan ia kehabisan ide suatu ketika. Ia mencatat menu-menu yang sudah pernah dibikinnya. Serba-serbi sambal: sambal goreng krecek, sambal goreng hati, sambal godog, sambal kentang, sambal bawang, sambal kecicang, sambal serai, dll. Aneka ca, semacam: ca sawi, ca kangkung, ca bayam, ca tauge, ca bunga kol, dll. Semua jenis perkedel dan gorengan kering: perkedel ketimun, perkedel kentang, perkedel jagung, pastel kentang, kroket kentang, dan seterusnya. Sampai makanan golongan menengah dilihat dari mahalnya bahan pokok semacam: babi kecap, gulai kare ayam, gulai udang, sate bumbu rujak, opor ayam, sup kaki ayam dengan jamur tiongkok, dendeng sapi, kepiting goreng. Juga serba-serbi makanan China semacam: shiobak, koloke, fuyung hai, ang sio hie, hao mie, tao mie, dan seterusnya. Daftar ini masih akan bertambah panjang kalau disebutkan serba-serbi pepes, serba-serbi urap, atau serba-serbi ikan.
Semua menu sudah dicobanya habis tak bersisa, tapi sepertinya masih saja ada sesuatu yang kurang. Ia pun lebih kerap berkreasi, satu menu masakan kadang-kadang dipadu dengan menu masakan lain, misalnya pepes tempe, gulai pakis, sate tahu, dan sebagainya. Tapi masih saja menu-menu itu terasa tak cukup untuk membuat variasi menu yang berbeda setiap harinya. Karena itulah yang akan membuat keluarganya betah dan merindukan makan malam.
Ia pernah merasa ingin berhenti saja memikirkan menu-menu itu, tapi suaminya akan berkata, "Kau telah memilih menjadi perempuan biasa-biasa saja, tidak bekerja dan melayani keluarga. Bahkan kau bersumpah akan membangun keluarga di atas meja makan, kenapa tidak kau pikirkan sebelumnya?"
Ibu merenungkan kata-kata suaminya. Ada yang salah terhadap penilaian-penilaian. Ada yang tak adil di dalamnya. Hampir selalu, yang menjadi korban adalah mereka yang dinilai, mereka yang tertuduh, mereka yang melakukan sesuatu tapi dinilai salah dan dianggap biasa-biasa saja. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan biasa dan tak biasa? Apa yang menentukan yang biasa dan yang tak biasa? Menjadi Ibu adalah sangat luar luar luar biasa. Apakah seorang ibu rumah tangga yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk keluarga lebih biasa daripada seorang ibu yang tak pernah sekalipun berpikir tentang keluarganya, meski ia punya tujuh perusahaan dan kaya raya? Lagipula, itu cuma perasaan, bukan angka-angka dalam matematika, namanya juga perasaan. Tercium bau hangus. Ibu tersentak dari lamunannya. Tempenya gosong.
Ia menyudahi goreng-menggoreng tempe itu. Lalu dengan bergegas ia menyambar sekeranjang cucian kotor, mulai mencuci. Anaknya datang satu per satu. Ibu belum selesai mencuci. Ia agak tergesa karena harus menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Setelah menyiapkan makan siang, ia kembali bekerja, menyelesaikan cucian.
Makan siang Ibu adalah jam 3 sore. Setelah itu, ia tidur dua jam. Sehabis jam 5 sore, sehabis tidur siangnya, ia harus menyiapkan makan malam. Sehabis makan malam, jangan kira ia selesai. Ada Bapak yang setiap hari minta dipijit, tapi setiap hari mengeluh pijitan Ibu tak pernah mengalami kemajuan. Ah…
Dia melakukannya selama sisa hidupnya. Ia berkutat dengan semua itu selama puluhan tahun, tak pernah ada yang memujinya, dan ia pun tak ingin dipuji, tapi itukah yang disebut perempuan biasa?
Suatu ketika, sebuah peristiwa datang mengusik keluarga itu.
Hari itu Selasa, ketika sebuah perubahan memperkenalkan dirinya kepada keluarga itu. Aries menolak makan bersama. Ia tentu punya alasan di balik aksi mogoknya. Tapi tak ada yang tahu apa alasan Aries.
Ibu kecewa. Menu makan malamnya tak dicicipi selama tiga hari berturut-turut. Ini adalah beban mental bagi seorang Ibu. Ia bukanlah orang yang suka memaksa, tapi selalu membaca dari tanda-tanda dan suka juga menebak-nebak. Sialnya, Aries tak pernah memiliki cukup waktu untuk menjelaskan semua itu. Ia tampak begitu sibuk. Kadang ia bahkan terlihat menyibukkan diri, menghindar dari Ibu. Ia menomorduakan ritual makan malam mereka. Ibu menangis, ia merasa segala usahanya untuk membangun tradisi makan malam ini sia-sia saja. Salahkah jika ia berusaha membikin sesuatu yang kelak retak menjadi abadi? Mungkin memang salah, tapi dulu tak seorang pun cukup berani menunjukkan di mana letak salahnya, tak seorang pun tega mengecewakan Ibu. Tapi Aries, kini telah membuatnya kecewa secara nyata.
Suasana menjadi semakin keruh ketika di hari kelima, keenam dan ketujuh, Aries juga absen makan malam.
Ibu bertindak. Ia masuk ke kamar si sulung, lalu, mungkin, bicara di sana. Pisca dan Canestra duduk di depan tivi, tidak mendengar apa-apa.
Satu jam kemudian, Ibu keluar dengan wajah murung, tapi dibikin agar kelihatan berseri. Ia tampak aneh.
"Aku tahu selama ini kita tak pernah jujur dengan makan malam itu. Satu-satunya yang jujur hanya dia. Kita semua sudah bosan, ya kan? Ibu juga. Dan mulai saat ini, tidak ada lagi kebohongan apa pun. Tinggalkan saja jika kalian memang tak setuju. Ibu juga sudah lelah memikirkan menu-menu makan malam untuk kalian. Ibu ingin merasa tidak perlu menyiapkannya untuk kalian. Ibu akan mencoba. Selamat bersenang-senang!"
Ibu terlihat enteng menyelesaikan persoalannya. Bapak menyusul Ibu ke kamar. Mudah-mudahan mereka bercinta. Ah ya mereka sepertinya tak pernah bercinta lagi sejak beberapa tahun ini. Padahal itu perlu, terutama bagi Ibu yang lelah luar biasa. Fisik dan jiwa.
Pisca menyelinap masuk ke kamar Aries, meninggalkan Canestra yang masih asyik nonton tivi. Ia sungguh ingin tahu, apa yang dibicarakan Ibu dan Aries, sehingga Ibu keluar dengan wajah aneh, murung tapi dipaksakan berseri. Pisca bertanya, "Ada apa?" Aries tak menjawab, namun tiba-tiba menangis dan menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Dengan sesenggukan, ia berkata, "Untuk apa lagi mempertahankan sebuah kepalsuan di depan Ibu? Salah satu dari kita semua telah mengkhianati Ibu, untuk apa lagi semua ini dipertahankan?"
Pisca menangkap ucapan kakaknya dengan jelas, namun ia tak mengerti, dan tak ingin mengerti, karena semua itu terlalu menyedihkan baginya. Apalagi yang lebih menyedihkan ketika tahu seseorang telah berkhianat kepada Ibu? Siapa pun dia, Pisca tak ingin tahu. Ia tak ingin mendendam, apalagi terhadap keluarganya sendiri. Tapi, bukankah Ibu selalu tahu apa yang terjadi? Semua pertanyaan bertumpuk-tumpuk di kepalanya.
Sesuatu yang kelak retak, yang Ibu pernah berusaha membikinnya abadi, kini sudah benar-benar retak berkeping-keping dan tak mungkin disatukan lagi. Sejak saat itu, makan malam bersama tidak rutin lagi bagi mereka. Hanya Ibu yang masih betah di sana. Sesekali Pisca atau Canestra mendampinginya. Mungkin tiba saat ketika ia benar-benar rindu makan malam bersama.
Sialnya, Bapak benar-benar tak memahami persoalan dengan baik. Ia sok bijak dan pandai. Kata-katanya sungguh tak tepat untuk menggambarkan seluruh keadaan ini.
"Benar kan, Ibumu memang perempuan biasa-biasa saja. Ia bahkan menganggap hal remeh ini sebagai kiamat dalam hidupnya!"
Pisca meradang. Ia merasa Bapak yang sombong itu harus dihentikan.
"Apa yang biasa? Apa yang tak biasa? Bapak juga laki-laki biasa, yang tak bisa seperti Ibu. Bapak jauh lebih biasa dari Ibu. Ibu, setidaknya berusaha membikin tradisi agar kita tahu arti kebersamaan sekalipun di atas meja makan. Tapi lihatlah Bapak yang hanya suka mengejek tapi tak pernah melakukan apa pun, bahkan tak pernah berusaha melakukan apa pun!"
Bapak diam. Dia kelihatan tersinggung. Tapi Pisca suka dan puas membuatnya tersinggung. Pisca memutuskan untuk menemui Ibu. Ibu menyambutnya dengan senyum. Ia tahu Pisca akan berbicara soal Bapak, soal biasa dan tak biasa. Ibu mencegahnya bicara lebih dulu, "Begini. Bapak benar soal Ibu yang biasa-biasa saja. Ini sudah seharusnya. Ibu menerima semua itu, bukan karena Ibu pasrah tapi Ibu mengerti betul kalian semua dan juga persoalan ini. Ibu memang perempuan biasa, tak ingin menjadi yang tak biasa. Ibu mencintai Bapak, kalian semua. Ibu tak bisa memberi uang, maka Ibu cuma memberi kemampuan Ibu memasak, itu pun jika kalian mau menikmatinya."
"Tapi Bu, ini penghinaan. Masalah makan malam itu bukan masalah sekadar, bukan masalah remeh temeh. Sebesar itu usaha Ibu membangun tradisi kebersamaan di keluarga kita, tapi Bapak bahkan menganggapnya tak ada. Kita belajar satu sama lain di meja makan itu, kita memutuskan hidup kita di atas meja makan itu, dan ingat, ketika Bapak berhenti bekerja di kantor karena penyelewengan dana yang sangat memalukan itu, yang menolong Bapak adalah kita, juga di atas meja makan itu."
"Bapak kini sedang merasa kesepian, ia kehilangan saat-saat terbaiknya, itu hal tersulit yang pernah ditemuinya. Kita harus memahami itu."
Dari beranda, Bapak mendengar semua percakapan itu. Ia berpikir bahwa istrinya memang baik, pengertian dan sabar, tapi sungguh ia sangat biasa, dan yang terpenting, tak menggairahkan. ***
Dambala of Telekinetik
Sejurus ia tercenung. 500 meter dari tempatnya berdiri, terlihat bangkai helikopter masih dikepung api. Beberapa detik lalu, heli itu meledak, terjatuh dari ketinggian 10 ribu kaki. Sebelum tergolek di bibir pantai, moncongnya menghantam karang, terbanting-banting, meledak berkeping-keping. Dapat dipastikan, dua penumpangnya tewas. Satu pilot dan satu mekanik jet tempur.
Sebelum beranjak pergi, ia melakukan re-check dengan teropong kecil yang selalu disimpan di saku baju dalamnya. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ia bernapas lega. Sekali lagi, matanya menyapu seluruh pantai, memastikan tidak ada yang melihatnya berdiri di atas bukit batu 37 derajat dari arah matahari yang mulai muncul di ufuk timur. Posisinya berlindung memang sangat menguntungkan. Celah batu karang itu tidak pernah diperkirakan bisa dimuati satu orang dewasa.
Ia pun mengemasi peralatannya, Kristal Piramida, kawat penghantar listrik kuningan, segitiga kematian --begitu selalu ia menyebutnya, dan beberapa sisa pembakaran dupa. Ia memeriksa ulang video hand-phone-nya. Memastikan semuanya sudah terekam secara sempurna.
Semalam, di tengah malam pekat, seorang lelaki berjaket tebal tanpa pelindung kepala, menemuinya di pinggir jalan perbatasan dua kota. Lelaki berperawakan tinggi itu turun dari truk tuanya. Perbatasan itu memiliki dua sisi. Di sisi selatan padang ngarai, sedang sisi utara pertanahan gersang tandus dan berbatu-batu. Keduanya dibelah jalan aspal 35 kilometer. Dari situ terlihat lautan Pasifik membentang dengan gelombangnya yang tidak beraturan.
Lelaki itu menatapkan matanya dalam-dalam kepada pemuda di depannya. Seolah ingin memastikan, yang dihadapinya betul-betul ahli Telekinetik, yang selalu dibicarakan dalam rapat-rapat khusus intelijen Seksi Satu. Rapat yang hanya dihadiri orang-orang nomor satu, baik di bidang pemerintahan, militer maupun intelijen.
Lelaki itu mengirimkan beberapa kalimat melalui pikirannya.
"Engkaukah, Stein…??"
Orang yang dipanggil Stein mengerjapkan matanya. Sekejap.
"Apa sandimu?" Lelaki ini mengirimkan kalimat lagi melalui pikirannya.
Mereka memang sedang melakukan telepati.
Pemuda berambut sebahu itu menjawab singkat, "Zhinox".
Mereka pun bersalaman.
Dari balik jaketnya, lelaki itu mengeluarkan tas plastik hitam. Ia menyerahkan kepada Stein. Stein pun mengamatinya secara seksama. Setumpuk uang ada di atas itu. Ia yakin jumlahnya tepat seperti job-job lain yang biasa dijalankannya. Stein memandang tajam ke mata lelaki itu.
Lelaki itu tersenyum. Lalu memberikan hand phone terbaru kepada Stein. Telepon canggih dengan fasilitas video, kamera, televisi, radio, dan radar. Stein mengantonginya di saku kiri kemeja lengan penjangnya. Ia sedikit membetulkan letak topi birunya. Topi penjelajah malam. Night hunter.
Lelaki itu akhirnya membuka mulut, "Besok pagi sasaran kita akan lewat di belokan tebing pantai sisi barat dengan helikopter menuju pangkalan rahasia mereka di tengah Pacific Ocean. Mekanik itu akan kembali ke negaranya."
Lelaki itu membetulkan jaketnya, lalu tangan kanannya mengirim kode ke sopir truk. Mesin dihidupkan. Lelaki itu kembali ke truk dan menghilang di kegelapan malam. Setelah berlalu Stein merasakan adanya kejanggalan pada truk tua yang terkesan reyot itu. Tidak ada deru mesin dan asap mengepul layaknya mobil solar. Truk itu menghilang tanpa meninggalkan deruman. Stein tersenyum lagi. "Aku harus memenangkan permainan ini…," gumamnya.
Ia memasukkan tas plastik hitam itu ke tas kecilnya. Setelah memastikan alat penunjuk arah di jam tangan, ia pun berjalan ke utara. Menapaki pegunungan batu. Di kanan kirinya, perdu kecil berduri. Meski malam betul-betul gelap ia tidak membutuhkan senter. Embun di atas tanah yang menciptakan terang tanah sudah cukup baginya.
Warna embun itu seperti kabut. Melebar 5 sentimeter di atas tanah. Setiap Stein menapakkan kaki, terang tanah itu seakan berpendar. Metabolisme tubuh Stein yang di luar normal, menciptakan energi panas berlebihan. Sehingga setiap jejak langkah menghasilkan perbenturan, antara panas yang berasal dari tubuh dengan kelembaban menuju titik jenuh yang berasal dari tanah. Akhirnya menghasilkan sedikit energi listrik berbentuk cahaya berkabut. Stein paling suka menyebutnya terang tanah.
Ia sudah terbiasa jalan di kegelapan. Ia sering melakukannya jika kebetulan tidak bisa tidur. Ia akan berjalan malam-malam sendirian, menapaki perbukitan yang menjulang tinggi di belakang rumahnya. Di sebuah desa yang terpencil dan terisolasi. Di samping untuk melatih indera penglihatan, pendengaran dan perabanya. Stein melakukan hal itu untuk melatih indera keenamnya. Berjalan di kegelapan terkadang menimbulkan salah paham bagi orang yang kebetulan berpapasan dengan dirinya. Ia dianggap makhluk gaib yang sedang sibuk mencari udara segar.
Stein memang pribadi yang misterius dan penuh keanehan. Pernah suatu ketika ia bermain-main ombak di Pattaya dengan kekuatan Telekinetik-nya. Ombak yang tadinya landai dan tenang, jadi gelisah dan bergemuruh. Angin laut pun membesar tidak karuan. Setiap kali Stein mengangkat tangannya ombak jadi saling berkejaran, berebut menguasai pantai. Kawasan wisata yang tenang itu berubah mencekam dan menakutkan. Jarak ombak yang tadinya 25 meter dari wisatawan, berubah mendekat dan tidak berjarak. Lima orang tenggelam. Satu turis asing dan dua pasangan muda-mudi. Beberapa kapal nelayan dan gazebo-gazebo di tepi pantai juga hancur berantakan diterjang ombak.
"Saya juga mampu meledakkan pesawat terbang dari jarak jauh…," begitu guraunya suatu ketika kepada orang yang kebetulan duduk di sampingnya, di pesawat penerbangan domestik.
Sambil menapaki perbukitan tandus itu Stein berusaha mengingat-ingat siapa lelaki yang menemuinya tadi. Pikirannya mengembara ke seluruh kegiatan intelijen yang pernah dilakukannya. Kamboja? Aceh? Praque? Selangor? Namun ia tetap tidak menemukan file di otaknya. Ia hanya ingat telinga lelaki itu yang lancip di atas pernah dilihatnya, tapi entah di mana.
Stein mencari tempat untuk merebahkan pantatnya. Tanah tandus itu terlihat agak curam dari ketinggian 150.000 kaki di atas laut. Ia menyelonjorkan kedua kakinya ke depan. Tas kecil di pinggang dicopot dan diletakkan di sebelah kiri tubuhnya. Sejenak ia memejamkan matanya. Pikirannya terbang ke seluruh kejadian masa kecil yang penuh penderitaan, upacara ritual yang hampir merenggut nyawanya gara-gara terjatuh dari batu karang dan terseret ombak sampai ke tengah lautan, desing mesiu yang hampir menyerempet telinganya, suara ledakan di hotel tempat ia menginap di Kamboja, wajah ibunya, bekas istrinya, dan pengepungan-pengepungan yang pernah dialaminya. Gambar-gambar itu berterbangan seperti slide film.
Ia mengerutkan keningnya mencoba menghimpun seluruh kekuatan bawah sadarnya. Dan tiba-tiba ia berteriak keras sekali. Ahhhh…!!. Stein mendekapkan kedua tangannya merangkul betis kakinya. Kepalanya merunduk ke kiri. Ia bergumam sendirian. "Engkau! Yang ada bersamaku dalam penerbangan domestik tiga bulan lalu…" Wajah Stein terlihat lega.
Ia jadi teringat hand phone di saku bajunya. Dirogohnya lalu dihidupkan. Di layar monitor terpampang beberapa tulisan asing, lalu muncul warning dan perintah memutar video. Stein melakukannya. Beberapa gambar bintang bermunculan, disusul jet tempur milik salah satu negara, dengan seluruh akrobatiknya dan kecanggihannya. Stein tahu, itu pesawat terbaru dengan banyak sekali lubang udara di seluruh dindingnya. Pesawat itu memakai sistem katup udara untuk melakukan akrobatik udara yang mustahil dilakukan jet lain. Ia mengagumi jet tempur itu. Ia pernah melihat blue-print-nya. "Pesawat yang hebat…," gumamnya.
Setelah itu, muncul gambar seorang mekanik sedang membongkar pantat jet itu. Stein mengamati hati-hati orang itu dengan serius. Tangannya cekatan memperbaiki sistem pembakaran pesawat. Stein penasaran karena sistem pembakaran jarang sekali dibongkar. Rangkaian mesinnya diproduksi secara utuh dan paten. Jadi tidak berupa gabungan beberapa komponen. Mekanik yang di-shooting kamera tersebunyi di Skadron AEIS itu mengambil sebutir sekrup dari wear pack-nya, kemudian menyumpalkannya di celah kecil antara sistem pembakaran dan mesin pembangkit. Stein terkejut. Siapa orang ini? Apa dia akan melakukan sabotase?
Terkadang mekanik itu memalingkan wajahnya sedikit ke kanan kiri. Tapi tetap saja wajahnya tidak terlihat jelas. Akhirnya dia berdiri menepuk-nepuk badan pesawat lalu berjalan ke kiri. Wajahnya terlihat secara lengkap untuk beberapa saat. "Restov…?!" Stein mengenali wajah orang itu. Enam tahun lalu di Praque, orang itulah yang selalu membuntuti dirinya. Stein jengkel dan melakukan beberapa strategi untuk membongkar rahasia tukang buntut itu. Dia menyekap Ivana Ceko, teman wanitanya. Akhirnya Stein tahu orang itu Restov, agen ganda untuk tiga negara.
Stein menghirup napas dalam dalam berusaha menenangkan dirinya. Di layar terpampang lagi gambar jet sedang memacu mesin di landasan. Tiba-tiba mesinnya mati mendadak. Jet itu terseret sampai bannya menggesek aspal mendencit-dencit. Jet itu tidak meledak. Tapi bannya pecah dan badannya terhempas di landasan. Darah Stein sudah menggelegak naik sampai ubun-ubun kepala. Ia tutup layar monitor lalu mengaktifkan sinyal radar. Ia mengarahkan pada koordinat yang sudah dibuat secara otomatis. Layar jadi berwarna hijau melingkar-lingkar. Ada satu titik tidak bergerak di pojok kanan bawah pada koordiant 4 Timur Laut. Stein tahu ia dimonitor pada jarak 10 kilometer. Stein bergegas menuju celah batu karang. Ia masih punya waktu untuk menunjukkan keahliannya melakukan Dambala of Telekenitik, jenis kekuatan supranatural untuk menghancurkan benda-benda dari jarak jauh.
Stein mulai membongkar tas kecilnya. Ia keluarkan segitiga kematian. Sekilas tampak terbuat dari lempengan Platina. Bentuknya segitiga dengan manik-manik Batu Opal di ketiga ujungnya. Ia mengucapkan beberapa mantra sambil meletakkan segitiga itu di depan tempatnya bersila. Begitu menyentuh tanah, segitiga itu mengepulkan asap hitam. Stein mengambil Kristal Piramida dan diletakkan tepat di tengah segitiga. Ia juga mengeluarkan beberapa kumparan dan kawat metal seperti yang dipakai pesulap David Copperfield untuk pertunjukan terbangnya, juga kawat kuningan dan 9 butir berlian. Tidak lupa juga, 9 batang dupa wangi.
Stein memulai meditasi. Ia mengatur napas sedemikian rupa sampai tubuhnya berasap. Dari lautan, datanglah angin besar, mengibas-kibaskan rambutnya. Stein mengucapkan banyak sekali mantra. Ia juga menggerakkan kedua tangannya ke atas, meruncing, menyogok langit, lalu menekuknya ke depan, matanya masih terpejam. Telapak tangannya menyentuh segitiga. Sinar biru keluar dari telapak tangannya. Radiasinya menghidupkan tiga sinar merah melalui tiga Batu Opal itu. Stein menciptakan sinar laser dari tubuhnya. Ia memperbesar kekuatannya, sinar merah itu pun menyebar ke 9 berlian yang diatur membentuk segitiga juga. Ujungnya mengarah ke tebing pantai sisi barat. Sinar laser itu menggumpal lalu melesat lurus menembak batu karang. Batu karang itu hancur berantakan. Stein menghentikan meditasinya. Ia memperbaiki letak 9 berliannya. "Terlalu ke kiri," batinnya.
Ia membuat perkiraan ulang posisi helikopter Restov dengan bantuan radarnya. Setelah dirasa tepat, Stein mengulang meditasinya, melesatkan sinar laser dari tempatnya duduk, lebih 1,5 kilometer jauhnya. Sinarnya pecah berantakan bertabrakan dengan kabut pagi.
Stein mempebaiki duduknya. Menghidupkan dupa wanginya. Ia berdoa kepada Yang Maha Kuasa, secara khusuk dan teduh. Ia tetap mengakui Tuhan, meski keajaiban supranatural yang dimilikinya tidak membutuhkan legitimasi Ketuhanan lagi. Radar di hand phone-nya sudah menangkap sinyal helikopter dengan kecepatan 50 mil per jam. Stein mendengar deru mesinnya. Ia tetap berdoa. Helikopter itu semakin mendekat dari arah Timur Laut, jaraknya tinggal 100 meter. Peluh bercucuran. Stein berkonsentrasi habis-habisan. Tubuhnya dipenuhi asap. Heli itu sudah 50 meter dari titik sasaran. Stein mengerutkan matanya, mulutnya berkomat-kamit mengucapkan banyak sekali mantra. Tangannya pun mengeluarkan sinar biru, dan 9 berlian di depannya sudah berwarna merah. Lalu angin besar datang menggoyang-goyang badan heli itu. Terbang dalam keadaan limbung, heli itu berusaha berbelok ke arah barat. Dua meter lagi heli itu masuk dalam lingkaran tembak Stein.
Stein mengangkat tangannya, ia masih terpejam. Menurunkan tangannya menyentuh segitiga kematian. Terciptalah sinar laser yang luar biasa kekuatannya. Sinar itu melesat, memburu heli yang limbung 500 meter di depannya. Heli itu jadi seperti lampu besar berwarna merah. Stein membuka matanya, ia melihat Restov panik. Matanya menatap tajam mata Rostov. Heli yang dibungkus sinar laser itu pun meledak! Terbanting-banting di batu karang, lalu menukik tajam menghempas pasir pantai lautan Pasifik. Api mengepungnya dan asap mengepul tinggi. Ombak lautan Pasifik yang ganas, segera memburunya, menelannya, lalu menyeretnya masuk ke tengah samudera. Peledakan itu tidak meninggalkan bekas.
Stein menundukkan kepalanya. Dari kedua bola matanya, keluar air mata.
"Ya Tuhan, saya membunuh lagi...," ujarnya lirih. ***
Sang Primadona
Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.
Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.
Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.
Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.
Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.
Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.
Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."
Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.
Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.
"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"
"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."
"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."
Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.
Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.
Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.
Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.
Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.
Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.
Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.
Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.
Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.
Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.
Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.
Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.
Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.
Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"
"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.
Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.
Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.
Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar