Sejarah Demokrasi
Zaman kuno
Kata "demokrasi" pertama muncul pada mazhab
politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh
Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara
demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM. Cleisthenes disebut sebagai
"bapak demokrasi Athena."
Demokrasi Athena berbentuk demokrasi langsung dan memiliki
dua ciri utama: pemilihan acak warga biasa untuk mengisi jabatan administratif
dan yudisial di pemerintahan, dan majelis legislatif yang terdiri dari semua
warga Athena. Semua warga negara yang memenuhi ketentuan boleh berbicara dan
memberi suara di majelis, sehingga tercipta hukum di negara-kota tersebut. Akan
tetapi, kewarganegaraan Athena tidak mencakup wanita, budak, orang asing
(μέτοικοι metoikoi), non-pemilik tanah, dan pria di bawah usia 20 tahun.[butuh
rujukan]
Dari sekitar 200.000 sampai 400.000 penduduk Athena, 30.000
sampai 60.000 di antaranya merupakan warga negara.[butuh rujukan] Pengecualian
sebagian besar penduduk dari kewarganegaraan sangat berkaitan dengan pemahaman
tentang kewarganegaraan pada masa itu. Nyaris sepanjang zaman kuno, manfaat
kewarganegaraan selalu terikat dengan kewajiban ikut serta dalam perang.[butuh
rujukan]
Demokrasi Athena tidak hanya bersifat langsung dalam artian
keputusan dibuat oleh majelis, tetapi juga sangat langsung dalam artian rakyat,
melalui majelis, boule, dan pengadilan, mengendalikan seluruh proses politik
dan sebagian besar warga negara terus terlibat dalam urusan publik.Meski
hak-hak individu tidak dijamin oleh konstitusi Athena dalam arti modern (bangsa
Yunani kuno tidak punya kata untuk menyebut "hak"[12]), penduduk
Athena menikmati kebebasan tidak dengan menentang pemerintah, tetapi dengan
tinggal di sebuah kota yang tidak dikuasai kekuatan lain dan menahan diri untuk
tidak tunduk pada perintah orang lain.
Pemungutan suara kisaran pertama dilakukan di Sparta pada
700 SM. Apella merupakan majelis rakyat yang diadakan sekali sebulan. Di
Apella, penduduk Sparta memilih pemimpin dan melakukan pemungutan suara dengan
cara pemungutan suara kisaran dan berteriak. Setiap warga negara pria berusia
30 tahun boleh ikut serta. Aristoteles menyebut hal ini
"kekanak-kanakan", berbeda dengan pemakaian kotak suara batu layaknya
warga Athena. Tetapi Sparta memakai cara ini karena kesederhanaannya dan
mencegah pemungutan bias, pembelian suara, atau kecurangan yang mendominasi
pemilihan-pemilihan demokratis pertama.
Meski Republik Romawi berkontribusi banyak terhadap berbagai
aspek demokrasi, hanya sebagian kecil orang Romawi yang memiliki hak suara
dalam pemilihan wakil rakyat. Suara kaum berkuasa ditambah-tambahi melalui
sistem gerrymandering, sehingga kebanyakan pejabat tinggi, termasuk anggota
Senat, berasal dari keluarga-keluarga kaya dan ningrat. However, many notable
exceptions did occur.[butuh rujukan] Republik Romawi juga merupakan
pemerintahan pertama di dunia Barat yang negara-bangsanya berbentuk Republik,
meski demokrasinya tidak menonjol. Bangsa Romawi menciptakan konsep klasik dan
karya-karya dari zaman Yunani kuno terus dilindungi. Selain itu, model
pemerintahan Romawi menginspirasi para pemikir politik pada abad-abad selanjutnya,
dan negara-negara demokrasi perwakilan modern cenderung meniru model Romawi,
bukan Yunani, karena Romawi adalah negara yang kekuasaan agungnya dipegang
rakyat dan perwakilan terpilih yang telah memilih atau mencalonkan seorang
pemimpin. Demokrasi perwakilan adalah bentuk demokrasi yang rakyatnya memilih
perwakilan yang kemudian memberi suara terhadap sejumlah inisiatif kebijakan,
berbeda dengan demokrasi langsung yang rakyatnya memberi suara terhadap
inisiatif kebijakan secara langsung.
Abad Pertengahan
Selama Abad Pertengahan, muncul berbagai sistem yang
memiliki pemilihan umum atau pertemuan meski hanya melibatkan sebagian kecil
penduduk. Sistem-sistem tersebut meliputi:
pemilihan Gopala oleh kasta atas di Bengal, Anak Benua
India,
Persemakmuran Polandia-Lituania (10% dari populasi total),
Althing di Islandia,
Løgting di Kepulauan Faeroe,
beberapa negara-kota Italia abad pertengahan seperti
Venesia,
sistem tuatha di Irlandia abad pertengahan awal, Veche di
Republik Novgorod dan Pskov di Rusia abad pertengahan,
Things di Skandinavia,
The States di Tirol dan Swiss,
kota pedagang otonomi Sakai di Jepang abad ke-16, dan
masyarakat Igbo di Volta-Nigeria.
Banyak wilayah di Eropa abad pertengahan dipimpin oleh
pendeta atau tuan tanah.
Kouroukan Fouga membelah Kekaisaran Mali menjadi klan-klan
(keluarga) berkuasa yang diwakili di majelis umum bernama Gbara. Sayangnya,
piagam tersebut membuat Mali lebih mirip monarki konstitusional alih-alih
republik demokratis. Negara yang sistemnya lebih mendekati ddemokrasi modern
adalah republik-republik Cossack di Ukraina pada abad ke-16–17: Cossack
Hetmanate dan Zaporizhian Sich. Jabatan tertinggi di sana, Hetman, dipilih oleh
perwakilan distrik-distrik negara tersebut.
Parlemen Inggris sudah membatasi kekuasaan raja melalui
Magna Carta, yang secara rinci melindungi hak-hak khusus subjek-subjek Raja,
baik yang sudah bebas atau masih terkekang, dan mendukung apa yang kelak
menjadi habeas corpus Inggris, yaitu perlindungan kebebasan individu dari
penahanan tak berdasar dengan hak membela diri. Parlemen pertama yang dipilih
rakyat adalah Parlemen de Montfort di Inggris pada tahun 1265.
Sayangnya, hanya sekelompok kecil rakyat yang memiliki hak
suara; Parlemen dipilih oleh sekian persen penduduk Inggris (kurang dari 3% pada
tahun 1780[21]) dan kekuasaan menyusun parlemen berada di tangan monarki
(biasanya saat ia membutuhkan dana).
Kekuasaan Parlemen bertambah secara bertahap pada abad-abad
berikutnya. Setelah Revolusi Agung 1688, Undang-Undang Hak Asasi Inggris tahun
1689 yang mengatur hak-hak tertentu dan menambah pengaruh Parlemen
diberlakukan.[21] Penyebarannya perlahan ditingkatkan dan kekuasaan parlemen
terus bertambah sampai monark hanya bersifat pelengkap.[22] Seiring
meningkatnya penyebaran pengaruh, sistem pemerintahan di seluruh Inggris
diseragamkan dengan penghapusan borough usang (borough yang jumlah pemilihnya
sangat sedikit) melalui Undang-Undang Reformasi 1832.
Di Amerika Utara, pemerintahan perwakilan terbentuk di
Jamestown, Virginia, dengan dipilihnya Majelis Burgesses (pendahulu Majelis
Umum Virginia) pada tahun 1619. Kaum Puritan Inggris yang bermigrasi sejak 1620
mendirikan koloni-koloni di New England yang pemerintahan daerahnya bersifat
demokratis dan mendorong perkembangan demokrasi di Amerika Serikat.[23]
Walaupun majelis-majelis daerah memiliki sedikit kekuasaan turunan, otoritas
mutlaknya dipegang oleh Raja dan Parlemen Inggris.
Era Modern
Abad ke-18 dan 19[sunting | sunting sumber]
Bangsa pertama dalam sejarah modern yang mengadopsi
konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun 1755. Konstitusi
Korsika didasarkan pada prinsip-prinsip Pencerahan dan sudah mengizinkan hak
suara wanita, hak yang baru diberikan di negara demokrasi lain pada abad ke-20.
Pada tahun 1789, Perancis pasca-Revolusi mengadopsi Deklarasi Hak Asasi Manusia
dan Warga Negara dan Konvensi Nasional dipilih oleh semua warga negara pria
pada tahun 1792.
Hak suara pria universal ditetapkan di Perancis pada bulan
Maret 1848 setelah Revolusi Perancis 1848.[25] Tahun 1848, serangkaian revolusi
pecah di Eropa setelah para pemimpin negara dihadapkan dengan tuntutan
konstitusi liberal dan pemerintahan yang lebih demokratis dari rakyatnya.[26]
Walaupun tidak disebut demokrasi oleh para bapak pendiri
Amerika Serikat, mereka memiliki keinginan yang sama untuk menguji prinsip
kebebasan dan kesetaraan alami di negara ini.[27] Konstitusi Amerika Serikat
yang diadopsi tahun 1788 menetapkan pemerintahan terpilih dan menjamin hak-hak
dan kebebasan sipil.
Pada zaman kolonial sebelum 1776, dan beberapa saat
setelahnya, hanya pemilik properti pria dewasa berkulit putih yang boleh
memberi suara, budak Afrika, sebagia besar penduduk berkulit hitam bebas dan
wanita tidak boleh memilih. Di garis depan Amerika Serikat, demokrasi menjadi
gaya hidup dengan munculnya kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik.[28] Akan
tetapi, perbudakan adalah institusi sosial dan ekonomi, terutama di 11 negara
bagian di Amerika Serikat Selatan. Sejumlah organisasi didirikan untuk
mendukung perpindahan warga kulit hitam dari Amerika Serikat ke tempat yang
menjamin kebebasan dan kesetaraan yang lebih besar.
Pada Sensus Amerika Serikat 1860, populasi budak di Amerika
Serikat bertambah menjadi empat juta jiwa,[29] dan pada Rekonstruksi
pasca-Perang Saudara (akhir 1860-an), budak-budak yang baru bebas menjadi warga
negara dengan hak suara (pria saja).
Penyertaan penuh warga negara belum sempurna dilakukan
sampai Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika (1955–1968) disahkan oleh Kongres
Amerika Serikat melalui Undang-Undang Hak Suara 1965.[30][31]
Abad ke-20 dan 21
Transisi abad ke-20 ke demokrasi liberal muncul dalam
serangkaian "gelombang demokrasi" yang diakibatkan oleh perang,
revolusi, dekolonisasi, religious and economic circumstances. Perang Dunia I
dan pembubaran Kesultanan Utsmaniyah dan Austria-Hongaria berakhir dengan
terbentuknya beberapa negara-bangsa baru di Eropa, kebanyakan di antaranya
tidak terlalu demokratis.
Pada tahun 1920-an, demokrasi tumbuh subur tetapi terhambat
Depresi Besar. Amerika Latin dan Asia langsung berubah ke sistem kekuasaan
mutlak atau kediktatoran. Fasisme dan kediktatoran terbentuk di Jerman Nazi,
Italia, Spanyol, dan Portugal, serta rezim-rezim non-demokratis di Baltik,
Balkan, Brasil, Kuba, Cina, dan Jepang.[32]
Perang Dunia II mulai memutarbalikkan tren ini di Eropa
Barat. Demokratisasi Jerman dudukan Amerika Serikat, Britania, dan Perancis
(diragukan[33]), Austria, Italia, dan Jepang dudukan menjadi model teori
perubahan rezim selanjutnya.
Akan tetapi, sebagian besar Eropa Timur, termasuk Jerman
dudukan Soviet masuk dalam blok-Soviet yang non-demokratis. Perang Dunia
diikuti oleh dekolonisasi dan banyak negara merdeka baru memiliki konstitusi
demokratis. India tampil sebagai negara demokrasi terbesar di dunia sampai
sekarang.[34]
Pada tahun 1960, banyak negara yang menggunakan sistem
demokrasi, meski sebagian besar penduduk dunia tinggal di negara yang
melaksanakan pemilihan umum terkontrol dan bentuk-bentuk pembohongan lainnya
(terutama di negara komunis dan bekas koloninya).
Gelombang demokratisasi yang muncul setelah itu membawa
keuntungan demokrasi liberal sejati yang besar bagi banyak negara. Spanyol,
Portugal (1974), dan sejumlah kediktatoran militer di Amerika Selatan kembali
dikuasai rakyat sipil pada akhir 1970-an dan awal 1980-an (Argentina tahun
1983, Bolivia, Uruguay tahun 1984, Brasil tahun 1985, dan Chili awal 1990-an).
Peristiwa ini diikuti oleh banyak bangsa di Asia Timur dan Selatan pada
pertengahan sampai akhir 1980-an.
Malaise ekonomi tahun 1980-an, disertai ketidakpuasan atas
penindasan Soviet, menjadi faktor runtuhnya Uni Soviet yang menjadi tanda
berakhirnya Perang Dingin dan demokratisasi dan liberalisasi bekas
negara-negara blok Timur. Kebanyakan negara demokrasi baru yang sukses secara
geografis dan budaya terletak dekat dengan Eropa Barat. Mereka sekarang menjadi
anggota atau calon anggota Uni Eropa. Sejumlah peneliti menganggap Rusia saat
ini bukanlah demokrasi sejati dan lebih mirip kediktatoran.[35]
Tren liberal ini menyebar ke beberapa negara di Afrika pada
tahun 1990-an, termasuk Afrika Selatan. Contoh terbaru liberalisasi adalah
Revolusi Indonesia 1998, Revolusi Bulldozer di Yugoslavia, Revolusi Mawar di
Georgia, Revolusi Oranye di Ukraina, Revolusi Cedar di Lebanon, Revolusi Tulip
di Kyrgyzstan, dan Revolusi Yasmin di Tunisia.
Menurut Freedom House, pada tahun 2007 terdapat 123 negara
demokrasi elektoral (naik dari 40 pada tahun 1972).[36] Menurut World Forum on
Democracy, jumlah negara demokrasi elektoral mencapai 120 dari 192 negara di
dunia dan mencakup 58,2 penduduk dunia. Pada saat yang sama, negara-negara
demokrasi liberal (yang dianggap Freedom House sebagai negara yang bebas dan
menghormati hukum dan HAM) berjumlah 85 dan mencakup 38 persen penduduk
dunia.[37]
Pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan 15
September sebagai Hari Demokrasi Internasional.[38]