SELECT LANGUAGE
Sabtu, 28 September 2013
Monyet hitam sulawesi
Monyet hitam
sulawesi
|
||||||||||||||
|
||||||||||||||
|
||||||||||||||
Macaca nigra
|
Monyet
hitam sulawesi adalah satwa endemik dari Pulau
Sulawesi bagian
utara dan beberapa pulau di sekitarnya. Ciri khasnya adalah rambut berwarna
hitam di sekujur tubuh kecuali punggung dan selangkangan yang agak terang.
Kepala hitam berjambul, muka tidak berambut,
moncong lebih menonjol. Panjang tubuh hingga 44,5-60 cm, ekor 20 cm dan berat
15 kg.
Satwa
ini dilindungi berdasarkan UU RI No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI
No.7 Tahun 1999. Hewan ini bisa ditemukan di Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus, Cagar
Alam Gunung Duasudara, Cagar
Alam Gunung Ambang, Gunung Lokon dan Tangale, dan menyukai
tempat-tempat di dekat perairan.
Monyet hitam sulawesi Merupakan jenis primata
yang mulai langka dan terancam kepunahan. Kera Hitam Sulawesi yang dalam bahasa
latin disebut Macaca nigra merupakan
satwa endemik Sulawesi Utara.
Kera Hitam Sulawesi selain mempunyai bulu yang berwarna
hitam juga mempunyai ciri yang unik dengan jambul di atas kepalanya. Kera yang
oleh masyarakat setempat disebut Yaki ini semakin hari semakin langka dan
terancam punah. Bahkan oleh IUCN Redlist digolongkan dalam status
konservasi Critically Endangered (Krisis).
Kera Hitam Sulawesi sering juga disebut monyet berjambul.
Dan oleh masyarakat setempat biasa dipanggil dengan Yaki,
Bolai, Dihe. Dalam bahasa Inggris primata langka ini disebut dengan
beberapa nama diantaranya Celebes Crested Macaque, Celebes Black ape,
Celebes Black Macaque, Celebes Crested Macaque, Celebes Macaque, Crested Black
Macaque, Gorontalo Macaque, Sulawesi Macaque. Dalam bahasa latin
(ilmiah) Kera Hitam Sulawesi dinamai Macaca nigra yang
bersinonim dengan Macaca lembicus (Miller,
1931) Macaca malayanus (Desmoulins, 1824).
Ciri-ciri Kera Hitam Sulawesi. Kera
Hitam Sulawesi (Macaca nigra)
mempunyai ciri-ciri sekujur tubuh yang ditumbuhi bulu berwarna hitam kecuali
pada daerah punggung dan selangkangan yang berwarna agak terang. Serta daerah
seputar pantat yang berwarna kemerahan.
Pada kepala Kera Hitam Sulawesi (Yaki) memiliki jambul.
Mukanya tidak berambut dan memiliki moncong yang agak menonjol. Panjang tubuh
Kera Hitam Sulawesi dewasa berkisar antara 45 hingga 57 cm, beratnya sekitar
11-15 kg.
Habitat dan Tingkah Laku. Kera
Hitam Sulawesi hidup secara berkelompok Besar kelompoknya terdiri antara 5-10
ekor. Kelompok yang besar biasanya terdiri atas beberapa pejantan dengan banyak
betina dewasa dengan perbandingan satu pejantan berbanding 3 ekor betina.
Primata yang menyukai jenis–jenis pohon yang tinggi dan
bercabang banyak. Sepertti Beringin (Ficus sp) dan Dao (Dracontomelon dao) ini
merupakan hewan omnivora, mulai dari buah-buahan hingga serangga. Musuh utama
Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra) ini
sama seperti tarsius yaitu ular Phyon.Primata ini banyak menghabiskan
waktu di pohon.
Penyebaran Kera Hitam Sulawesi biasanya terfokus di hutan
primer pada lokasi yang masih banyak jenis pohon berbuah yang biasa dimakan
oleh satwa ini. Daya jelajahnya (home range) selalu menuju ke satu arah dan
akan kembali kearah semula dengan daya jelajah antara 0,8–1 km.
Binatang langka ini dapat ditemui di Sulawesi Utara
di Taman Wisata Alam Batuputih, Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus,
Cagar Alam Gunung Duasudara, Cagar Alam Gunung Ambang, Gunung Lokon dan
Tangale. Juga dibeberapa pulau seperti di pulau Pulau Manadotua and Pulau
Talise, Pulau Lembeh (kemungkinan telah punah), termasuk di Pulau Bacan
(Maluku).
Konservasi. Kera
Hitam Sulawesi merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia berdasarkan UU RI
No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1999. Populasi Kera
Hitam Sulawesi berdasarkan data tahun 1998 diperkirakan kurang dari 100.000
ekor. Jumlah ini diyakini semakin mengalami penurunan. Penurunan popolasi ini
sebagian besar diakibatkan oleh perburuan liar.
Karena jumlah populasinya yang semakin menurun, IUCN
Redlist memasukkan Kera Hitam Sulawesi dalam daftar status konservasi Critically
Endangered (kritis) sejak tahun 2008. Dan CITES juga
memasukkan satwa endemik ini sebagai Apendix II.
Tarsius
|
Tarsius adalah primata dari genus Tarsius, suatu genus
monotipe dari famili Tarsiidae,
satu-satunya famili yang bertahan dari ordo Tarsiiformes.
Meskipun grup ini dahulu kala memiliki penyebaran yang luas, semua spesies yang
hidup sekarang ditemukan di pulau-pulau di Asia Tenggara.
Catatan fosil
Fosil Darwin dan primata robert
Tarsiiformes lain ditemukan di limbah pembuangan Asia, Eropa, dan Amerika Utara
dan ada fosil yang diragukan yang berasal dari Afrika, namun Tarsius Darwin
yang bertahan hingga sekarang terbatas di beberapa kepulauan di Asia Tenggara
termasuk Filipina, Sulawesi,Kalimantan dan Sumatra. Catatan fosilnya juga yang terpanjang
kesinambungannya dibanding genus primata manapun, dan catatan fosil itu menandakan bahwa
susunan gigi mereka tidak banyak berubah, kecuali ukurannya, dalam 45 juta
terakhir.
Klasifikasi
Posisi filogenetik tarsius yang hidup
sekarang banyak diperdebatkan pada abad yang lalu, dan tarsius diklasifikasikan
secara bergantian padaStrepsirrhini pada subordo prosimia,
atau sebagai grup saudara dari simia (=Anthropoidea) dalam
infraordo Haplorrhini.
Diindikasikan bahwa tarsius, yang semuanya dimasukkan
pada genus Tarsius,
sebenarnya harus diklasifikasikan pada dua (grup Sulawesi dan Filipina-Barat)
atau tiga genera yang berbeda (grup Sulawesi, Filipina dan Barat). Taksonomi di tngkat spesies adalah
rumit, dengan morfologi seringkali digunakan
secara terbatas dibandingkan vokalisasi. Beberapa "ragam bentuk
vokal" mungkin mewakili taksa yang belum
dideskripsikan, yang secara taksonomis terpisah dari Tarsius tarsier (=spectrum) (seperti tarsius
dari Minahasa dan kepulauan Togean),
dan banyak tarsius lain dari Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya (Shekelle
& Leksono 2004). Hal ini mungkin juga merupakan kasus sejumlah populasi
Filipina yang terisolasi yang kurang diketahui seperti populasi Basilan, Leyte dan Dinagat dari grup T. syrichta. Kerancuan lebih
lanjut muncul pada validitas nama-nama tertentu. Diantaranya, T. dianae yang sering dipakai telah ditunjukkan
sebagai sinonim junior dari T.
dentatus, sama halnya dengan itu, T.
spectrum sekarang dianggap
sinonim junior dari T. tarsier. Terlebih lagi, T. tarsier yang diperdebatkan sebagai sinonim
senior dari T. spectrum yang dipakai secara luas.
·
Infraordo Tarsiiformes
·
Famili Tarsiidae: Tarsius
·
Genus Tarsius
·
Grup T.
syrichta (Filipina-Barat)
·
Grup T.
tarsier (Sulawesi)
Anatomi dan fisiologi
Tarsius bertubuh kecil dengan mata yang sangat besar;
tiap bola matanya berdiameter sekitar 16 mm dan berukuran sebesar keseluruhan
otaknya. Kaki belakangnya juga sangat panjang. Tulang tarsus di kakinya sangat
panjang dan dari tulang tarsus inilah tarsius mendapatkan nama. Panjang kepala
dan tubuhnya 10 sampai 15 cm, namun kaki belakangnya hampir dua kali panjang
ini, mereka juga punya ekor yang ramping sepanjang 20 hingga 25 cm. Jari-jari
mereka juga memanjang, dengan jari ketiga kira-kira sama panjang debngan lengan
atas. Di banyak ujung jarinya ada kuku namun pada jari kedua dan ketiga dari
kaki belakang berupa cakar yang mereka pakai untuk merawat tubuh. Bulu tarsius
sangat lembut dan mirip beludru yang bisanya berwarna cokelat abu-abu, cokelat
muda atau kuning-jingga muda.
2.1.3.3
|
1.1.3.3
|
Penglihatan
Semua jenis tarsius bersifat nokturnal,
namun seperti organisme nokturnal lain beberapa individu mungkin lebih banyak
atau sedikit beraktivitas selama siang hari. Tidak seperti kebanyakan binatang
nokturnal lain, tarsius tidak memiliki daerah pemantul cahaya (tapetum
lucidum) di matanya. Mereka juga memiliki fovea,
suatu hal yang tidak biasa pada binatang nokturnal.
Otak tarsius berebda dari primata lain dalam hal koneksi
kedua mata dan lateral
geniculate nucleus, yang merupakan daerah utama di talamus yang menerima informasi
visual. Rangkaian lapisan seluler yang menerima informasi dari bagian mata ipsilateral
(sisi kepala yang sama) and contralateral (sisi kepala yang berbeda) di lateral
geniculate nucleus membedakan tarsius dari lemur, kukang, dan monyet, yang
semuanya sama dalam hal ini.
Tingkah laku
Tarsius merupakan satwa insektivora, dan
menangkap serangga dengan melompat pada serangga itu. Mereka juga diketahui
memangsa vertebrata kecil seperti burung, ular, kadal dan kelelawar. Saat melompat dari satu pohon ke pohon
lain, tarsius bahkan dapat menangkap burung yang sedang bergerak.[rujukan?]Kehamilan berlangsung enam bulan,
kemudian tarsius melahirkan seekor anak. Tarsius muda lahir berbulu dan dengan
mata terbuka serta mampu memanjat dalam waktu sehari setelah kelahiran. Mereka
mencapai masa dewasa setelah satu tahun. Tarsius dewasa hidup berpasangan
dengan jangkauan tempat tinggal sekitar satu hektar.
Pelestarian
Satu jenis tarsius, tarsius Dian T. dentatus; terdaftar segabai
sinonim juniornya T. dianae oleh IUCN),
terdaftar di IUCN Red
List berstatus Bergantung Konservasi. Dua
spesies/subspesies lain , Tarsius Barat (T. bancanus) dan subspesies
nominasinya (T. bancanus bancanus ,
terdaftar dengan status Risiko
Rendah. Tarsius Sulawesi (T. tarsier; terdaftar sebagai
sinonim juniornya T. spectrum)
dikategorikan sebagai Hampir
Terancam. Jenis tarsius lain terdaftar oleh IUCN sebagai Data Kurang. Adapun di Indonesia..
Tarsius tidak pernah sukses membentuk koloni pembiakan
dalam kurungan, dan bila dikurung, tarsius diketahui melukai dan bahkan
membunuh dirinya karena stres.
Satu situs mendapat keberhasilan mengembalikan populasi
tarisus di pulau Filipina Bohol. Philippine Tarsier Foundation telah mengembangkan
kandang besar semi-liar yang memakai cahaya untuk menarik serangga nokturnal
yang menjadi makanan tarsius.
Pada tahun 2008 dideskripsikan tarsius Siau yang dianggap
bestatus kritis dan terdaftar dalam 25
primata paling terancam oleh Conservation International dan IUCN/SCC Primate
Specialist Group tahun 2008.
Primata
kecil ini sering disebut sebagai monyet terkecil di dunia, meskipun satwa
ini bukan monyet. Sedikitnya terdapat 9 jenis Tarsius yang ada di dunia. 2
jenis berada di Filipina sedangkan sisanya, 7 jenis terdapat di Sulawesi
Indonesia. Yang paling dikenal adalah dua jenis yang terdapat di Indonesia
yaituTarsius tarsier (Binatang Hantu / Kera Hantu) dan Tarsius pumilus (tarsius kerdil, krabuku kecil
atau Pygmy tarsier). Kesemua jenis tarsius termasuk binatang langka dan
dilindungi di Indonesia.
Nama Tarsius diambil
berdasarkan ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang tarsal yang
memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka sehingga mereka dapat
melompat sejauh 3 meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon lainnya.
Tarsius juga memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian
ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang.
Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar.
Tarsius memang layak
disebut sebagai primata mungil karena hanya memiliki panjang sekitar 10-15 cm
dengan berat sekitar 80 gram. Bahkan Tarsius pumilus atau Pygmy tersier yang merupakan jenis tarsius
terkecil hanya memiliki panjang tubuh antara 93-98 milimeter dan berat 57 gram.
Panjang ekornya antara 197-205 milimeter.
Ciri-ciri fisik
tarsius yang unik lainnya adalah ukuran matanya yang sangat besar. Ukuran mata
tarsius lebih besar ketimbang ukuran otaknya. Ukuran matanya yang besar ini
sangat bermanfaat bagi makhluk nokturnal (melakukan aktifitas pada malam hari)
ini sehingga mampu melihat dengan tajam dalam kegelapan malam.
Tarsius juga memiliki kepala yang unik karena
mampu berputar hingga 180 derajat ke kanan dan ke kiri seperti burung hantu.
Telinga satwa langka ini pun mampu digerak-gerakkan untuk
mendeteksi keberadaan mangsa.
Sebagai makhluk nokturnal, tarsius hanya beraktifitas pada sore hingga
malam hari sedangkan siang hari lebih banyak dihabiskan untuk tidur. Oleh sebab
itu Tarsius berburu pada malam hari. Mangsa mereka yang paling utama adalah
serangga seperti kecoa, jangkrik. Namun terkadang satwa yang dilindungi di
Indonesia ini juga memangsa reptil kecil, burung, dan kelelawar.
Habitatnya adalah di
hutan-hutan Sulawesi Utara hingga Sulawesi Selatan, juga di pulau-pulau sekitar
Sulawesi seperti Suwu, Selayar, Siau, Sangihe dan Peleng. Di Taman Nasional
Bantimurung dan Hutan lindung Tangkoko di Bitung, Sulawesi Utara. Di sini
wisatawan secara mudah dan teratur bisa menikmati satwa unik di dunia itu.
Tarsius juga dapat ditemukan di Filipina (Pulau Bohol). Di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Tarsius lebih dikenal oleh masyarakat
setempat dengan sebutan “balao cengke” atau
“tikus jongkok” jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia.
Tarsius menghabiskan
sebagian besar hidupnya di atas pohon. Hewan ini menandai pohon daerah teritori
mereka dengan urine. Tarsius berpindah tempat dengan cara melompat dari pohon
ke pohon dengan lompatan hingga sejauh 3 meter. Hewan ini bahkan tidur dan
melahirkan dengan terus bergantung pada batang pohon. Tarsius tidak dapat
berjalan di atas tanah, mereka melompat ketika berada di tanah.
Populasi satwa langka
tarsius, primata terkecil di dunia yang hidup di hutan-hutan Sulawesi
diperkirakan tersisa 1.800. Ini menurun drastis jika dibandingkan 10 tahun
terakhir dimana jumlah satwa yang bernama latin Tarsius
spectrum ini, masih berkisar 3.500 ekor. Bahkan untuk Tarsius
pumilus, diduga amat langka karena jarang sekali diketemukan lagi.
Penurunan populasi
tarsius dikarenakan rusaknya hutan sebagai habitat utama satwa langka ini.
Selain itu tidak sedikit yang ditangkap masyarakat untuk dikonsumsi dalam pesta
anak muda. Binatang yang dilindungi ini digunakan sebagai camilan saat meneguk
minuman beralkohol cap tikus.
Satu lagi, bintang
langka dan unik ini sangat sulit untuk dikembangbiakan di luar habitatnya.
Bahkan jika ditempatkan dalam kurungan, tarsius akan melukai dirinya sendiri
hingga mati karena stres.
Nama binomial: Tarsius tarsier (Erxleben, 1777) atau Tarsius spectrum (Pallas,
1779) dan Tarsius pumilus atau Pygmy tarsier
Status konservasi: Hampir Terancam
Status konservasi: Hampir Terancam
Langganan:
Postingan (Atom)